Minggu, 15 Mei 2011

Novel kisah nyata.... ( ANTARA CAHAYA)

A. Kelas Menyanyi

Kudengar suara itu, pagi di tahun 1996 telah datang dan segera ku bangun dari tempat tidur yang paling nyaman didunia, tempat tidur yang terbuat dari kapas pohon samping rumah dengan jahitan penuh kasih sayang dari ibuku. Kulangkakan kaki dari kamar ukuran tiga kali dua meter dengan dinding triples yang penuh tempelan kertas korang dan gambar hasil karya dari saudara-saudaraku yang telah lebih dulu melanjutkan sekolahnya ke SLTP, SMA dan Perguruan tinggi.

Di dapur rumah kujumpai ibuku yang sejatinya dari subuh telah memulai setiap persiapan untuk keluarga agar hari ini semuanya berjalan lancar bagi keluarga kami. Kudengar ibuku mengatakan dengan menanyakan kepadaku tentang sekolah yang akan kumasuki sebagai awalku mengenal tulisan dan cara mengetahui arti dari tulisan. Beliu berkata, hari ini akan kuantar kau anakku ke sekolah taman kanak-kanak sebagai awalmu untuk berusaha mengejar keinginan yang ingin kamu capai didalam hidupmu, saya mengikuti saja sambil berpikir dalam hati, sekolah taman kanak-kanak adalah sekolah yang banyak menyanyinya dan menyanyi itu adalah sesuatu yang tidak bisa kulakukan dengan baik.

Jiwaku mengangumi seni tapi memang pada diri yang kumiliki tak terlalu bisa membedakan antara menyanyi dan membaca atau berbicara dengan orang lain sehingga menyanyi adalah sesuatu yang tak bisa kulakukan dengan baik. Sejatinya sekolah taman kanak-kanak itu hanya berada lima puluh meter dari rumah keluargaku jadi sebelum saya diajak ibu pagi itu saya sudah mengetahui aktivitas apa yang biasa dilakukan anak-anak di sekolah itu karena setiap bermain-main disekitar sekolah taman kanak-kanak tersebut, selalu kusempatkan untuk melihat yang dilakukan anak-anak disekolah itu.

Sampai di sekolah ibu mengatakan sekolah ini baik untukmu karena kamu bisa bermain, bisa mengambar dan bisa mulai belajar membaca serta menulis anakku, bersamaan dengan itu kami sampai didepan kelas dan segera ibuku berbicara dengan guru sekolah itu, yang kudengar dan kuingat ibu mengatakan ini anakku. Kumasuki ruangan kelas, dan memang benar apa yang dikatakan ibu padaku tadi, kelas dimulai dengan pelajaran menggambar suatu panorama alam. Kuingat panorama alam yang kugambar hari itu adalah dua buah gunung dengan jalanan diantaranya, sawah-sawah di kaki gunung dan awan-awan serta matahari yang bersinar di pojok kanan gambar tersebut.

Setelah selesai menggambar kelas pun istirahat dan kami bisa bermain didepan sekolah dengan ayunan yang menjadi permainan paling disenangi di sekolah itu, hal ini wajar saja karena disekolah kami hanya permainan itu yang ada. Setelah bermain kami pun memasuki kelas untuk memulai pelajaran menghafal huruf dari A sampai Z. Di akhir kelas hari itu ditutup dengan menyanyikan lagu secara bersama sampai menyanyikan lagu dari satu murid ke murid yang lain. Keringat mulai mengalir dari seluruh badanku sampai ketika kudengar namaku dipanggil kedepan untuk menyanyikan lagu apa saja yang kuhafal, kurasakan keringat itu telah membuat bajuku basah semua. Dan akhirnya sifat lemah dari kanak-kanakku muncul, menangis karena mengetahui diriku yang tidak bisa menyanyi dengan baik di panggil kedepan kelas untuk menyanyi. Walau penuh dengan bujukan guru untuk membuatku berani kedepan kelas menyanyi namun hari itu memang tak bisa kuhadapi dan yang kulakukan hanya menangis sebagai isyarat kepada guru bahwa saya tidak bisa melakukannya. Mengerti dengan keadaanku, guru melanjutkan giliran menyanyi ke anak yang lainnya sampai kuhadapi kenyataan bahwa hanya diriku yang tak mampu menyanyi dalam kelas. Setelah semuanya mendapatkan giliran, kelas pun dibubarkan dengan membaca doa sebagai penutup.

Pada malam harinya kuminta kepada ibu untuk disekolahkan langsung ke Sekolah Dasar yang jaraknya juga tidak terlalu jauh dari sekolah taman kanak-kanak. Mungkin karena menjadi anak bungsu dari tujuh bersaudara dikeluargaku yang kesemuanya adalah laki-laki, jadi ibu dan ayahku H.Muhammad Mansyur mengiyakan permintaanku sebagai bentuk kasih sayangnya. Sekolah Dasar Negeri Nomor 7 Lassang-lassang adalah nama sekolah yang kutempati memperoleh pendidikan. Sekolah ini juga yang ditempati kakakku untuk memperoleh pendidikan formal pertamanya.

Hari pertamaku dibangku sekolah kelas satu sangat sesuai harapan karena tak kujumpai keharusan menyanyi hingga lonceng sebagai tanda pulang berbunyi. Tiba dirumah ibuku telah menyediakan menu masakan yang akan selalu menjadi masakan terlesat didunia ini, walau hanya sayur kelor dan ikan bandeng kering. Sore harinya seperti biasa, ku berangkat ketempat mengaji dan setelahnya menonton Satria Baja Hitam di rumah sepupu, karena kami belum memiliki Televisi pada saat itu dan nanti setelah pulang baru belajar menghafal huruf A sampai Z dilanjutkan dengan belajar membaca. Hal ini terus berlanjut hingga ku mencapai bangku kelas dua.

Selasa, 25 Januari 2011

Tugas hukum Laut Internasional (Perbedaan Negara Pantai Dengan Kepulauan)

Life is Freedoom....

A.Perbedaan Negara Pantai dengan Negara Kepulauan

Perbedaan antara Negara pantai dengan Negara pulau merupakan sesuatu yang klasik yang mendapatkan perhatian tersendiri dalam dunia internasional. Hal ini dikarenakan pentingnya suatu batas Negara terhadap Negara lain terutama untuk wilayah laut sehingga permasalahan yang bisa timbul karena klaim wilayah laut oleh suatu Negara secara sepihak bisa dihindarkan oleh aturan yang yang jelas dan diakui.

Melihat sejarah pengakuan internasional terhadap konsep Negara pantai dengan Negara kepulauan tentu merupakan hal yang berbeda, dimana konsep Negara pantai lebih mudah dan cepat diterima oleh masyarakat internasional daripada konsep Negara kepulauan. Konsep Negara kepulauan diperkenalkan oleh Negara Indonesia yang pada awalnya melalui pengumuman pemerintahnya pada tanggal 13 Desember 1957 yang kemudian dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda “ bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari pada wilayah daratan Negara republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara republik Indonesia.

Dengan begitu Indonesia merupakan paduan tunggal yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara daratan dan lautan serta udara diatasanya. Konsepsi baru ini kemudian diperkokoh dengan undang-undang No. 4 Prp 1960, dmn ketentuan ini menyebutkan seluruh kepulauan dan perairan Indonesia adalah suatu kesatuan dimana dasar laut, lapisan tanah dibawahnya, udara diatasnya serta seluruh kekayaan alamnya berada dibawah kedaulatan Indonesia.

Kemudian, dilengkapai pula dengan peraturan pemerintah No.8 tahun 1962 tentang lalu lintas damai kendaraan air asing dalam perairan Indonesia dan keputusan Presiden republik Indonesia No.16 Tahun 1971 tentang wewenang pemberian izin berlayar bagi segala kegiatan kendaraan air asing dalam wilayah perairan Indonesia. Selanjutnya Indonesia dalam konfrensi hukum laut PBB tahun 1982 berhasil meloloskan konsep Negara kepulaun yg telah diperjuangkan selama 25 tahun yg dimulai pada Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Didalam konvensi 1982 tepatnya Pada BAB IV dengan Judul Negara Kepulauan dan terdiri atas 9 Pasal, dari Pasal 46-54.

Setelah diterimahnya konsep Negara kepulauan oleh masyarakat internasional maka Indonesia segera meratifikasi konvensi PBB 1982 dengan UU No. 17 tahun 1985 tanggal 31 Desember 1985. Dan pada tahun 1996 dikeluarkan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Dalam pasal 2 UU 1996 menyebutkan Negara Indonesia adalah Negara kepulauan yang berarti; segala perairan disekitar, diantara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara republik Indonesia dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah RI sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada dibawah kedaulatan Negara RI.

Dengan adanya pengakuan internasional tentang Negara kepulauan maka ada tiga tipe Negara berdasarkan hukum laut, yaitu; Negara kepulauan, Negara pantai dan Negara tak berpantai. Dari kata-kata yang memiliki makna yg berbeda ini, sudah terlihat perbedaan antara ketiga tipe Negara ini, plg mencolok adalah Negara tak berpantai yakni Negara yang batas wilayah teritorialnya tentu hanya wilayah daratan(tanah). Kemudian antara Negara kepulauan dan Negara pantai tentu saja ada perbedaan namun ada juga persamaannya, yakni kedua Negara memiliki batas territorial laut (pantai), namun Negara pantai lebih kepada kesatuan wilayah tak tunggal, artinya klaupun mereka memiliki wilayah dipulau maka wilayah itu dalam penentuan batasnya wilayahnya akan menggunakan standar negara pantai, lain halnya dengan Negara kepulauan yang sudah pasti terdiri dari pulau-pulau tetap menjadi kesatuan utuh dan tunggal dimana penentuan wilayah teritorialnya ditarik/ditentuakan berdasarkan pulau terluar.
Dan yang menjadi perhatian penulis adalah perbedaan relative antara Negara pulau dan Negara pantai dalam hal pemasangan pipa, kabel bawah laut baik untuk kepentingan komunikasi maupun penelitian serta perawatannya. Negara pulau dalam hal ini dibebankan kewajiban untuk member izin pemeliharaan dan penggantiannya, hal ini tertuan dalam pasal 51 ayat (2) ‘ Negara kepulaun harus menghormati kabel-kabel yang ada yang memalui kepulauannya tanpa melalui daratan. Sedangkan kedaulatan Negara pantai meliputi dasar dan tanah dibawah perairan pedalaman dan laut territorial.

Pada pasal 58 menunjuk kebebasan meletakkan kabel dan pipa sebagai suatu kebebesan dilaut lepas yang diterapkan di Zona Economi Esklusif (ZEE). Namun kebebasan yang sangat luas ini, harus mengakui hak-hak Negara pantai di ZEE. Untuk landas kontinen konvensi menetapkan ketentuan yang sedikit berbeda dan agak ganjil karena dasar tanah dibawah ZEE, jatuh bersamaan dengan landasn kontinen baik seluruh maupun sebagian. Pasl 57 mengakui hak semua Negara untuk meletakkan kabel atau pipa dibawah laut, tetapi hak-hak tersebut harus tunduk kepada sejumlah peraturan.

Negara pantai tidak boleh menghalangi kabel dan pipa bawah laut namun berhak melakukan tindakan-tindakan yang layak untuk ekspolarasi dan eksploitasi landas kontinen serta mencegah pencemaran dari pipa tersebut dan penentuan jalur lintasan pipa dilandas kontinen harus dilakukan dengan izin Negara pantai.


Daptar Pustaka
- DR. Boer Mauna, Hukum Internasional ,Edisi Ke-2 tahun 2005
- Negara Maritim dan Bangsa Maritim – Indonesia Maritime Club.htm

Tugas hukum Laut Internasional (perbandingan UU di indonesia)

PERBANDINGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 4 Prp TAHUN 1960 Tentang PERAIRAN INDONESIA Dengan
UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1996 Tentang PERAIRAN INDONESIA

a.Latar Belakang Penerapan

Sebagai suatu bangsa yang merdeka, bangsa Indonesia melakukan pembangunan disemua sector, hal itu pun dilakukan diwilayah hukum. Pembangunan disektor hukum tentunya bukan hanya diwilayah konstitusi tetapi sampai kepada undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang demi tercapainya Negara yang tertib dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam tulisan kelompok kami ini ada dua peraturan hukum, dimana ada aturan hukum yang lama dan ada aturan hukum yang baru, Yang mana aturan baru meniadakan aturan lama. Aturan hukum yang kami maksud lama yang diganti dengan aturan hukum yang baru adalah Undang-undang No.4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang diganti dengan Undang-Undang No.6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia.

Undang-undang No.4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dibuat setelah 15 tahun kemerdekaan Indonesia dengan dasar ;

1.Bentuk geografis Indonesia yang mempunyai corak dan cirri tersendiri.

2.Sejarah Indonesia adalah Negara pulau tetapi tetap suatu kesatuan.

3.Untuk keutuhan Negara Indonesia seluruh kepulauan dan laut diantaranya harus tetap dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat.

4.Dan aturan dalam “Territoriale Zee en Marieeteme Kringen Ordonnantie 1993” ( Staatsblad 1993 no.442 ) Pasal 1 ayat (1) “ yang membagi daratan Indonesia dalam bagian terpisah dengan teritorialnya sendiri

5.Serta Rekomendasi Musyawarah Kabinet Kerja pada tanggal 20 januari 1960
Hal ini lah yang mendasari lahirnya Undang-undang No.4 Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
Undang-undang No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dengan dasar ;

1.Kenyataan sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia, Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, sebagai negara kepulauan dengan Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 dan Undang- undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia telah menetapkan wilayah perairan Negara Indonesia.

2.Keberhasilan memperjuangkan konsepsi hukum negara kepulauan dengan dimuatnya ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut).

3.Pengaturan hukum negara kepulauan yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim hukum negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam Bab IV Kon-vensi tersebut pada huruf b.

4.Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut) (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3319).

b.Perbandingan Undang-Undang No.4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia Dengan Undang-Undang No.6 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
Melihat nomor dan tahun berlakunya suatu Undang-undang yang berbeda tentu kita akan menemukan warna atau ciri khas tersendiri dari suatu undang-undang, walaupun undang-undang itu mengatur hal yang sama.

Dalam tulisan ini kelompok kami mencoba membandingkan antara Undang-undang No.4 Prp tahun 1960 dengan Undang-undang No.6 tahun 1996 dengan hasil analisis perbandingannya adalah;
Pada Undang-undang no.4 prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia ditemukan bahwa;

1.Undang-undang no.4 Prp tahun 1960, hanya sebagai peraturan pemerintah pengganti undang-Undang yang dibuat dalam waktu yang cepat mengingat adanya aturan internasional yang ketentuannya merugikan bagi bangsa Indonesia seperti yang telah dijelaskan pada letar belakang penerapan.

2.Undang-undang no.4 Prp 1960 hanya memiliki 4 pasal, dimana aturan yang didalamnya tentu tidak luas cakupannya.

3.Pada pasal-pasalnya sangat sedikit mengatur (kurang aturannya).

4.Undang-undang no.4 tahun 1960 adalah sebuah aturan nasional yang pengakuan internasionalnya belum ada, mengingat belum disetujuinya konsepsi Negara kepulauan Indonesia seperti dalam Deklarasi Juanda 13 Desember 1957dalam konvensi internasional. Sedangkan,Pada undang-undang no.6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia ditemukan bahwa;

1.Undang-undang no.6 tahun 1996 ini lahir sebagai aturan hukum yang lebih kompleks dari undang-undang no.4 Prp tahun 1960, dan sebagai amanat dari ratifikasi Konvensi hukum laut PBB pada tahun 1982 dengan Undang-undang no.17 tahun 1985 tentang pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea.

2.Undang-undang no.6 tahun 1960 lebih luas dan kompleks aturannya, dengan diaturnya mengenai hak lintas bagi kapal-kapal asing, dimana terdapat 4 (empat) bagian yaitu, Hak lintas damai, hak lintas alur laut kepulauan, hak lintas transit, hak akses dan komunikasi.

3.Undang-undang ini jg mengatur mengenai pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia serta penegakan kedaulatan dan hukum diperairan Indonesia.

4.Dengan berlakunya undang-undang No.6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia maka undang-undang No.4 Prp tahun 1960 dinyatakan tidak berlaku.
Demikianlah analisis perbandingan antara undang-undang no.4 Prp tahun 1960 tentang perairan Indonesia dengan Undang-undang no.6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi seluruh teman-teman mahasiswa terutama kelompok kami. Dan diharapkan adanya diskusi-diskusi diantara teman-teman mahasiswa mengenai analisis perbandingan undang-undang ini supaya lebih jelas kebenaran dari perbandingan undang-undang.

Arbitrase Internasional

Tugas
Hukum Arbitrase Perdagangan internasional

Hukum arbitrase perdangangan internasional adalah hukum yang lahir dari sebuah perjanjian internasional dalam bidang perdagangan internasional. Hukum arbitrase internasional adalah merupakan salah satu upaya hukum dalam melakukan penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang melakukan perjanjian internasional. Perjanjian bilateral pertama secara formal pada tahun 1794 dalam perjanjian Jay (jay treaty) antara Amerika Serikat dengan Inggris.

Namun pada tulisan ini kita tidak akan membahas mengenai sejarah dan perkembangan hukum arbitrase perdagangan internasional, kita akan melakukan loncatan langsung pada tata cara penyelesaian sengketa dalam hukum arbitrase internasional, yaitu :

1.Dicantumkannya klausul arbitrase dalam perjanjian sebagai cara penyelesaian sengketa di kemudian hari.
2.Penunjukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa masing-masing anggota arbitrator yang komposisinya di seimbangkan antara kedua belah pihak.
3.Kemudian anggota yang telah dipilih oleh pihak yang bersengketa menunjuk orang sebagai pihak ketiga selaku ketua arbitrator.
4.Setelah terbentuk para hakim arbitrase yang didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak melalui anggota yang ditunjuknya, kemudian dilakukan kesepakatan antara kedua pihak yang bersengketa mengenai hukum yang akan dipakai oleh arbitrator.
5.Setelah kesepakatan antar pihak yang bersengketa mengenai hukum yang diterapkan dalam sengketa, maka dilakukan proses beracara.
6.Acara persidangan dilakukan dengan dua tahap, tertulis dan lisan
7.Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan sengketa diserahkan sebelum persidangan tertulis dan tertutup.
8.Kemudian dilakukan pemanggilan para saksi-saksi termasuk saksi ahli.
9.Dilakukan pemutusan setiap tuntutan yang berkaitan dengan pokok perkara.
10.Dilakukan perlindungan sementara atas yang dipersengketakan
11.Memutus perkara.
12.Persidangan sifatnya rahasia, putusan sifatnya mengikat karena berdasarkan kesepakatan para pihak.


Nama: Akbar
Nim : B III 06 291

Hukum Pengungsi Internasional

Life is Freedoom....

BAB I
PENDHULUAN

A.Latar Belakang
Hukum Pengungsi internasional adalah turunan dari salah satu pengaturan hukum internasional. Hukum pengungsi internasional lahir demi menjamin keamanan dan keselamatan pengungsi internasional di negara tujuan mengungsi. Selain memberikan perlindungan dinegara tujuan, pengungsi internasional juga dilindungi oleh negara-negara yang dilewatinya dalam perjalanan ke negara tujuan mengungsi.

Dalam dunia internasional yang mengalami perkembangan baik dari segi informasi, teknologi serta juga dalam bidang hukum internasional. Hal ini pun terjadi dibidang hukum pengungsi internasional. Pengunsi internasional, terjadi dinegara-negara dunia tentu saja diakibatkan oleh kondisi-kondisi yang membuat seseorang lebih memilih untuk berpidah (mengungsi) dari negara asalnya kenegara lain. Kondisi-kondisi yang dimaksud, adalah kondisi yang tidak aman bagi seseorang atau kelompok, apabila tetap berada pada wilayah negara tertentu, jadi demi keamanan dan keselamatan orang, kelompok tersebut memilih untuk berpindah kewilyah negara yang lebih aman bagi mereka.

Namun pada perkembangan dunia internasional perluh kiranya diketahui bahwa tidak semua orang, kelompok yang berpindah dari satu wilayah negara ke wilayah negara lainnya dengan serta merta dikategorikan sebagai pengungsi internasional. Banyak dari orang, kelompok yang berpindah dari negaranya dengan cara illegal. Illegal disini maksudnya dengan menjadi imigran gelap atau memasuki wilayah suatu negara dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan internasional.

Selain dengan cara menjadi imigran gelap, ada pula yang dilakukan dengan mengajukan permintaan suaka kepada negara tujuan sesuai dengan aturan dan kategori untuk mendapatkan suaka. Agar jelas perbedaan dari pengungsi internasional dengan cara-cara lain yang dilakukan dalam memasuki wilayah suatu negara maka penulis menengahkan rumusan masalah seperti dibawah ini.

B.Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1.Bagaimana keadaan seseorang bisa dikatakan sebagai pengungsi dan Bagaimana peran UNHCR di indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN

1.Kedudukan Pengungsi Internasional dan Peran UNHCR di Indonesia

Pada rumusan masalah telah di ketengahkan bahwa bukan hanya dengan cara menjadi pengungsi internasional, orang, kelompok dapat melakukan perpindahan dari negara asal ke negara tujuan. Banyak cara yang bisa dilakukan oleh orang, kelompok untuk melakukan perpindahan ke wilayah negara tujuan.

Cara yang dilakukan oleh orang, kelompok untuk berpindah ke wilayah negara tujuan menentukan sikap negara tujuan dalam menangani orang, kelompok tersebut. Hal ini menjadi penting karena tentunya penanganan oleh negara tujuan sesuai dengan aturan internasional yang menjadi aturan yang disepakati oleh negara-negara didunia.
Migrasi yang dilakukan oleh orang, kelompok tersebut berkaitan erat dengan Hak Asasi manusia (HAM), terutama mengenai Suaka dan Pengungsi Internasional. Hal ini pun mendapat perhatian oleh pemerintah Negara Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Imigrasi Indonesi bekerjasama dengan UNHCR melaksanakan Program Peningkatan Kapasitas dalam bentuk 15 (lima belas) kegiatan workshop yang terkait dengan masalah pengungsi yaitu “Workshop Antar Instansi Pemerintah mengenai Hukum Pengungsi Internasional dan Peran UNHCR di Indonesia”di Hotel Santosa Resort, Lombok Nusa Tenggara Barat, 20-21 Juli 2010.

Rencana Hak Asasi Manusia (Ranham) 2004-2009 yang akan diperbarui pada RANHAM 2010-2014 . Pada prinsipnya permasalahan pengungsi dan pencari suaka merupakan hal yang erat hubungannya dengan pertimbangan kemanusian dan hak asasi manusia. Permasalahan pengungsi sangat rentan dengan adanya kejahatan-kejahatan lintas negara, seperti penyelundupan manusia (people smuggling) dan perdagangan manusia (trafficking in persons).

Dalam sambutannya Haryo Sasongko, mengharapkan bahwa dalam workshop ini para peserta dapat melakukan peningkatan koordinasi kerja untuk melakukan pengembangan dan pertukaran data, informasi dan analisa antar negara regional. Sehingga dapat mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan lintas negara, seperti penyelundupan manusia (people smuggling) dan perdagangan manusia (trafficking in persons) dan juga adanya tumpangan kepentingan dari tujuan migrasi para pencari suaka dan pengungsi .

Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi negara tujuan bagi para pemohon Suaka dan Pengungsi internasional. Menurut data United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR), hingga bulan Juni 2009 tercatat ada 1.928 orang migran masuk ke Indonesia. Dari data tersebut terdapat 441 orang sebagai pengungsi dan 1.478 orang pencari suaka. Lebih lanjut, UNHCR mencatat lima negara asal pencari suaka dan pengungsi yang masuk ke Indonesia ialah Afghanistan (1.200 orang), Myanmar (300 orang), Irak (282 orang) dan sisanya dari negara Sri Lanka dan Somalia. Pusat penyebaran mereka pun terdapat di beberapa daerah seperti Jakarta (908 orang), Aceh (265 orang), Bogor (254 orang), Mataram (174 orang) dan di daerah lainnya 100 orang. Dari data tersebut, dapat kita asumsikan bahwa Indonesia merupakan tempat strategis, baik sebagai tempat mengungsi maupun sebagai tempat transit para pengungsi. Hal ini yang melatarbelakangi adanya kebutuhan yang penting dan mendesak yang perlu diakomodir oleh pemerintah, karena sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Wina 1951 tenang Status Pengungsi .

Walaupun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Wina 1951, Setidaknya terdapat tiga peraturan yang bersifat administratif dan teknis yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah terkait \ dengan persoalan pengungsi, walaupun tanpa menggunakan atau mendefinisikan istilah “pengungsi” sebagaimana dipahami berdasarkan hukum internasional. Instrumen nasional, pertama adalah Surat Edaran Perdana Menteri No.11/RI/1956 tanggal 7 September 1956 tentang Perlindungan Pelarian Politik. Yang kedua adalah Keputusan Presiden No.38 Tahun 1979 tentang Koordinasi Penyelesaian Masalah Pengungsi Vietnam. Dan yang ketiga adalah Keputusan Presiden No.3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi .
Dari ketiga aturan tersebut jelas bahwa Indonesia sangat antusias mengenai perluhnya meratifikasi Konvensi Wina 1951 sebagai instrument hukum internasional bagi pengungsi internasional.

Untuk menentukan seseorang adalah pengungsi internasional rujukan yuridisnya adalah Konvensi Wina 1951 tentang Status Pengungsi pada Pasal 1 bagian A poin 2, yang berbunyi :

Sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan dikarenakan ketakutan yang beralasan akan disiksa karena alasan-alasan ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dari suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat politik, ada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat, atau karena ketakutan tersebut tidak mau memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh perlindungan dari negara yang bersangkutan, atau yang karena tidak mempunyai kewarganegaraan dan karena berada di luar negara bekas tempat tinggalnya, scbagai akibat peristiwa-peristiwa tersebut, tidak memungkinkan atau, dikarenakan ketakutan tersebut, tidak mau kembali ke bekas tempat tinggalnya itu .

Dari pasal ini dapat ditarik beberapa poin yang berkaitan dengan status orang, kelompok yang kemudian dapat dikatakan Pengunsi Internasional. Poin itu adalah karena alasan-alasan ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dari suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat politik. Namun poin yang paling menentukan seseorang bisa dikategorikan sebagai pengungsi adalah mengenai ancaman terhadap jiwa mereka apabila tetap berada di negara asal mereka. Pasal ini berkaitan dengan jaminan Hak Asasi Manusia yang sangat dijunjung tinggi negara Indonesia.

Pengungsi internasional dikalangan awan hampir memiliki arti yang sama dengan Suaka internasional. Dalam kaitannya dengan suaka, perlu dibedakan perbedaan antara pencari suaka dan pengungsi, Perbedaan itu ada pada status suakanya. Pada dasarnya kedua pihak adalah orang yang terpaksa memutuskan hubungan dengan negara asalnya karena rasa takut yang mendasar dan tidak mungkin untuk kembali lagi. Akan tetapi kedudukan dari seorang pencari suaka dikatakan demikian apabila dalam pengajuan suakanya pada negara lain yang bersangkutan belum diakui status suakanya atau apabila suakanya itu ditolak sementara pengungsi adalah status kelanjutan keberadaannya di luar negeri apabila status suakanya itu diterima oleh negara lain dengan mengacu pada ketentuan hukum internasional yang ada.


BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan

Dari pembahasan diatas penulis menarik kesimpulan bahwa sangat penting perlindungan dilakukan terhadap para pengungsi internasional baik oleh negara tujuan, atau negara-negara yang menjadi negara persinggahan sebelum para pengungsi sampai pada negara tujuan, mengingat kondisi para pengungsi yang sangat riskan menjadi sasaran kejahatan dikarenakan para pengungsi internasional selalu melakukan perjalanannya dengan persiapan yang kurang baik.

B.Saran

Sebagai bangsa yang menjujung tinggi penghormatan dan penegakan hak asasi manusia, hendaknya rejim pengaturan secara legal terhadap pengungsi dan pencari suaka di negara ini bisa diciptakan lebih komprehensif, baik mekanisme hukum dan kelembagaannya. Salah satu langkah strategis ialah dengan meratifikasi Konvensi Wina 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokolnya. Memang kebijakan luar negeri belum menjadi hal yang populer dan menjual pada masa kampanye saat ini. Kebijakan soal hak asasi manusia seringkali dilihat hanya sesempit masalah perut, namun sebenarnya terdapat banyak ancaman terhadap martabat manusia, termasuk masalah pengungsi dan pencari suaka. Sebagaimana Arendt berpendapat bahwa human rights are not a given of human nature; they are the always tenuous results of a politics that seeks to establish them, a vigorous politics intent on constituting relatively secure spaces of human freedom and dignity. Jadi, sebagai negara bangsa, Indonesia justru jangan menjadi pengahalang terhadap ‘pencarian’ martabat manusia dengan hanya mengakui hak suaka dalam konstitusi, namun lebih melihat ini sebagai the fundamental deprivation of human rights.


Daftar Pustakaa

Sabtu, 15 Januari 2011

Makalah Hukum Perjanjian Internasional "ReserVation"



BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang Masalah

Perkembangan sumber hukum internasional sampai pada akhir tahun 2008 sangat signifikan, hal ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun perkembangan sumber hukum internasional ini tetap menempatkan perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral sebagai sumber utama hukum internasional.
Penjanjian(treaty) baik bilateral maupun multilateral merupakan suatu bentuk kodifikasi hukum kebiasaan kedalam hukum positif internasional. Proses kodifikasi biasanya dilakukan dalam konvensi- konvensi internasional. Didalam konvensi biasanya dilakukan perumusan, perundingan, singkatnya sampai pelaksanaan isi perjanjian, baik dengan cara ratifikasi atau aksesi bagi negara yang mau terikat hak dan kewajibannya terhadap perjanjian. Seyogyanya isi perjanjian dilaksanakan secara penuh agar tercapai kesempurnaan perjanjian itu sendiri, namun hal ini tentunya sulit dicapai ketika melibatkan kepentingan setiap negara yang ikut dalam konvensi. Kepentingan negara- negara yang berbeda inilah yang biasanya membuat alok pada saat perumusan dan perundingan suatu substansi perjanjian. Keadaan dilema bagi negara peserta konvensi dipertaruhkan ketika isi perjanjian itu pada umumnya atau lebih banyak yang sesuai dengan kebutuhan(menguntungkan) negaranya, tetapi ada beberapa bagian dari perjanjian yang memang tidak dibutuhkan(tidak menguntugkan) bagi negara tersebut ataupun bertentangan dengan konstitusi negaranya. Untuk menghindarkan negara mundur atau tidak meratifikasi dan atau mengaksesi perjanjian maka suatu perjanjian dibuatkan suatu pengecualian dalam bentuk RESERVATION atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama persyaratan.
Persyaratan(reservation) berlaku juga bagi negara ketiga yang ingin ikut serta dalam perjanjian tetapi tidak ikut dalam konvensi. Persyaratan disini memberikan angin segar bagi negara yang ingin terikat dalam perjanjian tapi tidak secara penuh menerima semua ketentuan dalam perjanjian.

I.II Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah, rumusan masalah untuk makalah ini adalah:
1. Seberapa besar pengaruh kedaulatan negara dalam menekan untuk lahirnya sebuah Persyaratan, dan apakah instrumen dari persyaratan(reservation)?
2. Apakah perbedaan reservation sistem suara bulat dengan sistem pan Amerika,
Dan kasus reservation atas Konvensi Genocide tahun 1951(tentang pencegahan dan penghukuman atas kejahatan genocide)?


BAB II
PEMBAHASAN

II.I Pengertian

Awalnya reservation (persyaratan) didefinisikan berbeda-beda berdasarkan subyek yang memberikan defenisi. Adapun defenisi bebes terhadap reservation yang secara umum itu ialah pernyataan sepihak yang dikemukakan oleh suatu negara pada waktu menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, yang isinya menyatakan “Menolak untuk menerima atau mengakui atau tidak mau terikat pada, atau tidak mau menerima akibat hukum dari salah satu atau beberapa ketentuan dari perjanjian tersebut, dan atau mengubah atau menyesuaikan isi atau memberikan arti tersendiri atas salah satu atau beberapa ketentuan dari perjanjian tersebut sesuai dengan kepentingan negara yang bersangkutan”, perbedaan pendapat ini dimungkinkan kalau belum ada defenisi yang disepakati bersama.

Namun dengan lahirnya konvensi wina 1969 sebagai instrumen hukum perjanjian internasional, pengertian persyaratan telah diterimah secara umum berdasarkan defenisi yang terdapat pada pasal 2 ayat 1 butir d “Persyaratan berarti suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan nama apapun yang dibuat oleh suatu negara, ketika menandatangani, meratifikasi, mengapksesi, menyetujui, atau mengaksesi atas suatu perjanjian internasional, yang maksudnya untuk mengesampingkan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian itu dalam penerapannya terhadap negara yang bersangkutan”. Dengan demikian substansi pasal 2 (1),d konvensi wina antara lain adalah merupakan pernyataan sepihak, berkenaan dengan waktu pengajuan persyaratan, dan berkenaan dengan substansi, maksud, dan tujuan dari persyaratan itu sendiri, serta pengajuan persyaratan itu harus dalam bentuk tertulis.

Dengan adanya pengertian yang diberikan terhadap reservation dalam konvensi wina berarti pengertian bebas tadi dengan sendirinya ditinggalkan karena sifatnya yang relatif demi terpenuhinya persamaan presfektif terhadap reservation.

II.II Pengaruh Kedaulatan Negara dalam Menekan Untuk Lahirnya Sebuah
Persyaratan, dan Instrumen Dari Persyaratan(reservation)
Resevation seperti telah diuraikan diatas didasarkan pada pasal 2 ayat 1 bagian d konvensi wina 1969 tentang perjanjian. Perjanjian merupakan manifestasi dari keinginan negara- negara atas sebuah aturan internasional yang penerapannya tidak bertentangan dengan konstitusinya dan tentunya tidak mencederai kedaulatan masing- masing negara. Kedaulatan merupakan salah satu unsur pembentuk negara sehingga aturan hukum internasional diusahakan serelevan mungkin dengan aturan hukum umum pada setiap negara didunia. Kedaulatan menurut kamus hukum internasional dan indonesia oleh Drs. Soesilo Prajogo, SH, yang diterbitkan Wacana Intelektual berarti “Kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah; kedaulatan suatu negara”, dengan mengacu pada defenisi diatas maka suatu problem akan muncul ketika negara- negara ikut dalam suatu konvensi internasional, dimana disetiap negara pasti mempunyai perbedaan konstitusi.

Kesadaran bahwa dalam sistem dan struktur masyarakat internasional, negara-negara sebagai subyek utama hukum internasional memiliki kedaulatan, dan dengan dasar kedaulatan itu maka negara tidak bisa dipaksa untuk menerima atau menyatujui sesuatu yang tidak sesuai dengan kepentingannya. Dalam hubungannya dengan suatu perjanjian internasional, atas dasar kedaulatan itu maka suatu negara berhak penuh untuk menentukan apakah akan menyatakan setuju terikat ataukah menolak terikat pada suatu perjanjian internasional. Problematisnya adalah ketika didalam perejanjian itu ada beberapa ketentuan yang merugikan dan ada juga yang menguntungkan bagi negara, pilihannya adalah menyatujui untuk terikat atau tidak sama sekali.
Pilihan manapun yang ditempuh akan menimbulkan masalah lanjutan baik bagi negara itu maupun bagi perjanjian itu sendiri, bahkan dalam ruang lingkup yang lebih luas akan menimbulkan dampak tehadap masyarakat internasional pada umumnya, lebih- lebih jika perjanjian itu merupakan perjanjian internasional multilateral global. Masalah yang timbul bagi negara adalah jika tidak mau terikat pada perjanjian padahal sebagian besar dari ketentuan perjanjian itu menguntungkan baginya, sebaliknya jika memaksakan terikat pada perjanjian padahal ada beberapa ketentuan yang merugikan bagi negaranya, hal ini menempatkan negara pada pilihan yang sulit.
Selanjutnya bagi perjanjian itu sendiri, hal ini akan menghambat bagi perkembangan hukum internasional dimana sumber hukum internasional adalah perjanjian internasional bila makin sedikit negara yang menyatakan setuju untuk terikat pada perjanjian tersebut. Hal ini juga akan menghambat konsep ideal dari perjanjian itu pada tatanan pelaksanaannya yang riil.

Bagi masyrakat internasional secara umum, terhambatnya suatu perjanjian internasional berkembang menjadi kaidah hukum positif berarti akan menghambat lahirnya sarana untuk mengatur kehidupan masyarakat internasional. Dengan dua pilihan diatas tentunya akan sulit dipenuhi oleh negara- negara yang ikut dalam perjanjian untuk terikat karena sifatnya yang terlalu ekstrim.
Untuk mengakomodasi kepentingan tiap- tiap negara tanpa mengesampingkan kedaulatan disatu sisi yang bersebrangan dengan ketentuan dalam perjanjian, kemudian diperkenalkan pranata hukum internasional yang disebut reservation(persyaratan) untuk menjembantangi kedaulatan negara- negara dalam keterikatannya pada perjanjian internasional dengan perjanjian itu sendiri. Hal ini membuat terang bahwa persyaratan(reservation) lahir dari sebuah jurang antara kedaulatan dan ketentuan pada suatu perjanjian.

Mengenai persyaratan instrumen positifnya diatur dalam konvensi wina 1969 pada pasal 2 ayat 1 d “defenisi dari persyaratan”, dan diatur pula dalam lima pasal yaitu pasal 19 “ mengenai ketentuan pengajuan suatu persyatan sampai pembatasannya pada perjanjian internasional”, pasal 20” mengenai diterimah atau ditolaknya persyaratan yang diajukan suatu negara oleh negara peserta lainnya”, pasal 21” diatur mengenai akibat hukum dari persyaratan”, pasal 22” diatur mengenai penarikan kembali suatu persyaratan atau sebuah penolakan”, pasal 23”pada pasal ini diatur mengenai prosedur persyaratan secara menyeluruh”. Dengan adanya aturan yang jelas mengenai persyaratan akan memudahkan bagi negara peserta konvensi atau negara ketiga apabila ingin ikut terikat pada perjanjian dengan mengecualikan beberapa ketentuan yang diperbolehkan oleh perjanjian itu sendiri.
Secara umum perjanjian internasional yang didalamnya diikuti oleh negara sebagai peserta berkiblat(atau instrumen hukumnya) pada ketentuan konvensi wina 1969 tentang perjanjian. Ketentuan dalam konvensi wina tegasnya terdapat 8(delapan) bagian yang terdiri dari 85 pasal, yang diharapkan dapat mengakomodasi ketentuan hukum internasional bagi suatu perjanjian.

II.III Perbedaan Reservation Sistem Suara Bulat dengan Sistem Pan Amerika,
Dan kasus reservation atas Konvensi Genocide tahun 1951(tentang
pencegahan dan penghukuman atas kejahatan genocide)
Pada masa awal lahirnya persyaratan sampai tahun 2008 ini dikenal dua macam sistem persyaratan. Dua sistem persyaratan itu adalah sistem persyaratan suara bulat dan sistem persyaratan pan Amerika. Sistem persyaratan suara bulat yaitu suatu mekanisme pengajuan persyaratan oleh suatu negara yang ingin terikat pada suatu perjanjian yang didasarkan atas persetujuan semua negara anggota perjanjian, dengan kata lain apabila ada negara anggota yang menentang persyaratan yang diajukan oleh negara yang ingin mengikatkan dirinya pada perjanjian tidak akan diterima sebagai anggota. Pada sistem ini semua negara anggota harus menyetujui persyaratan yang diajukan oleh negara yang ingin menjadi anggota agar persyaratan itu memiliki kekuatan mengikat dan berlaku positif, kalau tidak berarti negara yang ingin menjadi anggota tadi harus menerima secara keseluruhan ketentuan dalam perjanjian tersebut atau tidak menjadi anggota.

Sistem suara bulat ini, seperti mashab kontrak dalam hukum perdata yang mana lebih mengutamakan keutuhan dari substansi kontrak agar tidak mencederai maksud dan tujuan perjanjian tersebut. Perkembangan yang signifikan atas sistem suara bulat ini terjadi pada masa sebelum perang dunia I dan II, yaitu pada masa itu Liga Bangsa- Bangsa yang paling banyak menggunakan mekanisme ini, dan mengenai sistem suara bulat ini diatur dalam pasal 20 ayat 2 konvensi wina 1969.
Selanjutnya sistem yang kedua yaitu sistem pan Amerika, sistem ini dinamakan sistem pan Amerika dikarenakan sistem ini diperkenalkan dan diterapkan pertama kali dibenua Amerika, pada organisasi regional pada tahun 1932 dengan nama Organisation of American States. Mekanisme pada sistem ini tidak terlalu rumit menurut penulis untuk penerapannya dan membuka kesempatan perkembangan yang cepat bagi hukum perjanjian internasional itu sendiri.

Singkatnya pada sistem pan Amerika apabila negara yang ingin terikat pada perjanjian mengajukan persyaratan pada ketentuan perjanjian dan persyaratan ini mendapat tanggapan pro dan kontra dari negara anggota maka perjanjian ini tetap berlaku secara umum dan persyaratan hanya berlaku bagi negara yang pro terhadap persyaratan yang diajukan dan yang kontra tidak berlaku perjanjian tersebut dan akibat hukum bagi negara yang mengajukan persyaratan dan yang kontra pada persyaratan tidak berlaku baginya perjanjian tersebut. Mengenai sistem pan Amerika ini diatur dalam konvensi wina 1969 pada pasal 20 ayat 4, 5, pasal 21 ayat 1, 2, 3, dan pasal 22 ayat 1, 2, 3, serta pasal 23 ayat 1, 2, dan 3.
Dari uraian kedua sistem persyaratan diatas jelaslah perbedaannya, yang dari terminologi bahasanya sudah bisa menggambarkan perbedaan mendasarnya. Disini juga tampak dengan sangat jelas dari ketentuan yang mengaturnya dimana reservation pan Amerika lebih banyak mendapatkan tempat pengaturan didalam konvensi wina 1969 dari pada sistem suara bulat, hal ini tidak lepas dari dinamika sistem pan amerika yang lebih barpariasi dibandingkan sistem suara bulat.

Untuk lebih memahami reservation(persyaratan) berkenaang dengan tempatnya sebagai pranata hukum internasional penulis menyajikan sebuah kasus yang mengetengahkan antara tataran teori ke pengimplementasian persyaratan itu sendiri, sebagai berikut;

Ceis
Reservation atas Konvensi Genocide, 1951.
Pihak-Pihak yang Terlibat:
1. PBB Sebagai organisasi internasional yang menyelenggarakan konvensi
Genocide 1951 ini.
2. Negara- negara anggota PBB, yang pada tahun 1948 menyepakati secara bulat konvensi tentang Genocide dengan jumlah negara anggota PBB adalah 56 Negara, dan negara ketiga yang ingin ikut terikat yang karena konvensi yang sifatnya universal dan konvensi memberikan kemungkinan itu.
3. Mahkamah Internasional Pemberi Advisory Opinion yang diwakilkan 12(dua belas) hakim mahkamah internasional.
Duduk Perkara

Pada tanggal 9 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengesahkan sebuah konvensi yaitu Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide(Konvensi tentang pencegahan dan penghukuman atas kejahatan genocide) berdasarkan Resolusi nomor 206/III/48, dan berlaku pada tanggal 12 Januari 1951, yang menjadi masalah ternyata didalam konvensi tidak diatur mengenai Reservation(persyaratan), jadi tidak ada kejelasan apakah negara yang mau terikat pada konvensi Genocide ini diperkenangkan untuk mengajukan persyaratan atauka tidak sama sekali.
Didalam prosesnya konvensi itu untuk mengikat negara-negara, ternyata ada beberapa negara yang mengajukan persyaratan saat menyatakan persetujuannya untuk terikat dalam konvensi Genocide 1951 ini.

Penyelesaian Masalah:
Karena didalam konvensi Genocide tidak ada aturan yang secara splisit mengatur mengenai Reservation. Padahal hal ini merupakan persoalan hukum internasional yang sangat besar mengingat konvensi ini diakomodasi oleh Organisasi internasional, maka Majelis Umum PBB pada saat itu mengeluarkan Reselusi nomor 478/ V/ 1950, yang memohon Advisory Opinion(pendapat hukum) ke Mahkamah Internasional, dengan mengetengahkan masalah yang dihadapi oleh konvensi Genocide 1951, sebagai berikut;
Sepanjang berkaitan dengan konvensi tentang Genocide, dalam hal suatu negara yang menyatakan persetujuannya untuk terikat pada konvensi;
a. Dapatkah negara yang mengajukan persyaratan dipandang sebagai pihak atau peserta pada konvensi dengan tetap mempertahankan persyaratan yang diajukanya itu, jika persyaratan itu ditolak oleh satu atau lebih negara peserta, tetapi tidak ditolak atau disetujui oleh negara-negara peserta lainnya.

b. Jika jawaban atas pertanyaan a adalah positif (affirmative), bagaimanakah akibat hukum dari persyaratan tersebut dalam hubungan antara negara yang mengajukan persyaratan dan:
- Negrara-negara peserta yang menolak persyaratan itu?
- Negara-negara peserta yang menerima atau menyetujuinya?
c. Apakah akibat hukumnya berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan a, apabila keberatan atau penolakan terhadap persyaratan itu diajukan oleh:
- Negara yang menandatangani konvensi tetapi yang belum menyatakan persetujuannya untuk terikat atau belum meratifikasinya?
- Negara yang berhak untuk menandatanganinya maupun mengaksesinya tetapi ternyata tidak atau belum melakukannya?
Dalam menjawab pertanyaan ini, Mahkamah Internasional menyatakan;
Senua pertanyaan tersebut secara tegas dibatasi oleh Resolusi Majelis Umum PPB yakni hanya berkaitan dengan konvensi tentang gonecide, oleh karena itu, jawaban yang akan diberikan oleh Mahkamah pun juga secara tegas dibatasi hanya pada konvensi saja.Mahkamah akan mencari jawabannya didalam kaidah- kaidah atau peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan akibat hukum dai reservation maupun penerimaan dan penolakan terhadap reservation dalam perjanjian-perjanjian multilateral”.
Selanjutnya mahkamah mengatakan bahwa suatu perjanjian internasional tidak mengikat bagi negara yang tidak menyetujui untuk terikat begitupun sebaliknya. Mahkamah dalam hal menyampaikan pendapatnya memperhatikan faktor internal dan eksternal dari konvensi Genocide ini. Faktor internalnya antara lain meliputi mekanisme persetujuan perjanjian yang memakai sistem suara bulat diperberat, maksudnya suara bulat diperberat adalah pada saat kesepakatan diambil diadakan voting yang mana lebih banyak yang setuju(suara mayoritas) dengan mekanisme suara bulat untuk perjanjian Genocide ini, dengan kata lain sudah ada pihak(negara) yang berseblahan(yang minoritas pada saat pemungutan suara) dengan suara bulat ini, dan juga maksud dan tujuan dari konvensi Genocide ialah sebagai konvensi yang parmanen dan universal. Parmanen dan universal secara luas diartikan bahwa konvensi merupakan manifestasi dari penerimaan secara murni atas tujuan kemanusian dan peradaban umat manusia. Jadi dalam konvensi persamaan kepentingan adalah mutlak dengan berpegang pada prinsip-prinsip moralitas, tanpa memperhitungkan keuntungan dan kerugian atau hanya berdasarkan keseimbangan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya secara kontraktual saja sebagaimana dimaksud dan tujuan dari perjanjian.
Faktor eksternalnya ialah perlunya diperhatikan kondisi untuk penerapan konvensi Genocide yang bermuarah ke sifat yang lebih luwes untuk keutuhan konvensi, ditambah pihak PBB sebagai pihak yang mengakomodasi pelaksanaan konvensi bersifat sangat universal dan aturan negara-negara yang bisa menjadi peserta berdasarkan ketentuan dalam konvensi(pasal XI konvensi). Faktor selanjutnya adalah paham yang kental pada saat itu, dimana paham ini menengahkan bahwa maksud dan tujuan perjanjian tidak bisa digagalkan oleh suatu keputusan sepihak atau persetujuan khusus antara beberapa pihak dalam perjanjian, paham ini didasarkan pada prinsip kedaulatan tiap-tiap negara (paham ini berkembang dan menjadi landasan pembuatan kontrak”yaitu kontrak haruslah utuh dan bulat”).
Itulah kedua faktor yang mempengaruhi konvensi Genocide, kemudian mahkamah berpendapat bahwa maksud dan tujuan konvensi adalah untuk membatasi, baik membatasi kebebasan untuk mengajukan persyaratan atau penolakan terhadap persyaratan seperti maksud dan tujuan dari PBB dan Negara-negara yang menyatujui perjanjian agar makin banyak negara yang berpartisipasi dalam perjanjian. Jadi pengajuan persyaratan atau penolakan terhadap persyaratan harus dianggap sebagai tindakan penyempurnaan dari perjanjian sepanjang itu relevan dengan maksud dan tujuan perjanjian.
Mengenai laporan yang berkenaan dengan masalah ini, yang diterimah oleh dewan LBB pada tanggal 17 Juli 1927, yang menyatakan bahwa sering terjadi persetujuan secara diam-diam yang memiliki peranan tersendiri atas reservation dalam suatu perjanjian, namun hal ini tidak menegaskan adanya peraturan. Lalu melihat kebiasaan dalam penolakan terhadap persyaratan itu sangat sering tidak terjadi dalam perjanjian yang konsekuensinya tidak ada alasan untuk membuatkan aturan hukum internasional semacan ini. Presfektip yang palig baik dianut adalah bahwa rekomendasi yang dibuat untuk Dewan LBB pada tanggal tersebut merupakan titik tolak dari suatu praktik administratif yang diterapkan dan ditaati dikalangan sekretariat LBB.
Akhirnya Mahkamah Internasional dengan perbandingan suara tujuh orang hakim menyetujui sedangkan lima orang hakim menolak, memberikan Advisory opinionnya atas permohonan yang diajukan oleh PBB, dan menyatakan;
- Bahwa jika ada suatu negara yang mengajukan persyaratan yang ternyata ditolak oleh satu atau lebih negara peserta dalam konvensi tetapi disetujui atau tidak ditolak oleh negara peserta yang lainnya, negara yang mengajukan persyaratan itu dapat dipandang menjadi peserta pada konvensi, apabilah persyaratan itu sesuai dengan atau tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari konvensi, tetapi sebaliknya jika persyaratan itu bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi, maka negara tersebut tidak dapat dipandang peserta pada konvensi.
- Bahwa jika salah satu negara peserta menolak persyaratan yang diajukan oleh suatu negara yang dipandangnya bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi, negara itu dalam kenyataannya dapat menganggap bahwa negara yang mengajukan persyaratan tersebut bukan sebagai pihak atau peserta pada konvensi.
- Bahwa jika lain pihak , suatu negara peserta ada yang menerima atau menyetujui persyaratan tersebut karena menganggapnya sesuai dengan maksud dan tujuan konmvensi, maka negara yang menyetujui itu dalam kenyataannya dapat memandang negara yang mengajukan persyaratan sebagainpihak atau peserta pada konvensi.
- Bahwa keberatan atau penolakan terhadap suatu persyaratan yang dikemukakan oleh negara penandatangan yang belum meratifikasi atau belum menyatakan persetujuannya untuk terikat pada konvensi akan meulai menimbulkan akibat hukum dalam hubungannya dengan jawaban pertama diatas, hanya sesudah negarab itu menyatakan persetujuannya untuk terikat atau sesudah negara itu meratifikasinya.
- Bahwa keberatan atau penolakan terhadap suatu persyaratan yang diajukan oleh suatu negara yang berhak untuk menandatangani atau mengaksesinya tetapi ternyata negara itu tidak atau belum melakukan pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian itu, keberatan atau penolakan tersebut tidak memilki akibat hukum apapun.
Dengan merujuk pada Advisory opinion Mahkamah Internasional yang pertimbangannya meliputi faktor internal dan eksternal yang telah dijelaskan sebelumnya ditambah perbedaan Presfektif(pandangan) dari negara-negara terhadap reservation, maka PBB dalam kasus Genocide 1951 menerapkan Advisory opinion Mahkamah internasional untuk menyelesaikan masalah persyaratan ini.


BAB III
PENUTUP
III. I Kesimpulan

Reservation(persyaratan) merupakan pranata hukum internasional yang sangat relevan dengan kebutuhan negara –negara akan aturan hukum internasional yang mana sumbernya dari perjanjian internasional. Reservation juga memberikan kepastian akan bisanya dikecualikan beberapa ketentuan yang bertentangan dengan keinginnan negara –negara akan aturan internasional selama itu tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian itu sendiri. Dengan adanya persyaratan, kedaulatan tiap-tiap negara juga terakomodasi dalam perjanjian.

Mengenai sistem suara bulat bagi reservation menurut hemat penulis merupakan sebuah kegagalan awal dari perjanjian dan persyaratan itu sendiri, dikarenakan dalam hal ini bisa saja negara menolak untuk meratifikasi disebabkan bertentangan dengan kedaulatannya dimana perluh diingat bahwa persyaratan merupakan implikasi dari sebuah kedaulatan. Dengan adanya sistem pan Amerika yang kembali menurut hemat penulis merupakan mekanisme yang tepat bagi reservation karena cukup luwes dan akomodasi untuk kedaulatan negara-negara yang ingin mengikatkan dirinya pada suatu konvensi.

Pada kasus Genocide, Advisory opinion Mahkamah Internasional sudah Preskriftip(apa yang seyogyanya), dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah dijelaskan sebelumnya, di tambah penulis memberikan Apreasi bagi Mahkamah internasional yang sangat mapan mempergunakan Prespektif hukum murni dalam kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA
“ I Wayan Parthiana, SH. MH
Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1,Bandung, Januari 2002
“ Drs. Soesilo Prajogo, SH
Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, Cetakan 1, tahun 2007
“ Haula Adolf
Hukum Perdagangan Internasional, Bandung, November 2004
“ Konvensi Wina 1969 Tentang Penjanjian Internasional.
Foto Copy Naskah Transletnya ke Bahasa Indonesia

Kejahatan Internasional "Pendefenisian Agresi"

AGRESI

Agresi adalah suatu kejahatan internasional seperti yang terdapat dalam statute roma 1998 yang dibentuk sebagai landasan normatif, Internasional Criminal Court (ICC) untuk dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan
internasional.

Mengenai defenisi dari agresi ini dapat dilihat dalam statute roma pasal 5 ayat 2 yang bunyinya “ mahkamah melaksanakan yurisdiksi atas kejahatan internasional agresi setelah suatu ketentuan disahkan sesuai dengan pasal 121 dan 123 yang mendefenisikan kejahatan dan menetapkan kondisi- kondisi dimana mahkamah menjalankan yurisdiksi berkenaan dengan kejahatan itu. Ketentuan semacam itu haruslah sesuai dengan ketentuan- ketentuan terkait dari piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa.” Selanjutnya bila dihubungkan dengan piagam PBB hal ini terdapat
pada BAB VII pasal 42 terkhusus.

Agresi dianggap sebagai suatu bentuk lain dari penyelesaian sengketa oleh Negara-negara terlebih lagi Negara Amerika Serikat dikarenakan agresi dibolehkan dengan alasan menciptakan keamanan & perdamaian dunia internasional, begitu pula pada saat AS mengagresi IRAK tahun 2004 , mereka mengelak dari tuduhan agresi militernya(intervensi).

Kesimpulan

Sampai saat ini defenisi yang jelas mengenai agresi belum ada, dengan artian penjabaran dari agresi kembali memerlukan interpretasi dari Negara yang melakukan dan di yang diagresi negaranya, yang seharusnya mendapat penguatan dari sisi positif hokum(normative) internasional agar batasan dari agresi jelas, mungkin dengan mengamendemen statute roma sesuai pasal 121 salah satu cara yang bias dilakukan. Dari sisi positifnya hal ini membolehkan suatu Negara memasuki wilayah kedaulatan Negara lain untuk membasmi hal-hal yang membahayakan perdamaian dan keamanan internasional tanpa mencederai kedaulatan Negara tersebut.

Sumber\
Statute roma 1998
www.google.com

Pengikut