Selasa, 25 Januari 2011

Tugas hukum Laut Internasional (Perbedaan Negara Pantai Dengan Kepulauan)

Life is Freedoom....

A.Perbedaan Negara Pantai dengan Negara Kepulauan

Perbedaan antara Negara pantai dengan Negara pulau merupakan sesuatu yang klasik yang mendapatkan perhatian tersendiri dalam dunia internasional. Hal ini dikarenakan pentingnya suatu batas Negara terhadap Negara lain terutama untuk wilayah laut sehingga permasalahan yang bisa timbul karena klaim wilayah laut oleh suatu Negara secara sepihak bisa dihindarkan oleh aturan yang yang jelas dan diakui.

Melihat sejarah pengakuan internasional terhadap konsep Negara pantai dengan Negara kepulauan tentu merupakan hal yang berbeda, dimana konsep Negara pantai lebih mudah dan cepat diterima oleh masyarakat internasional daripada konsep Negara kepulauan. Konsep Negara kepulauan diperkenalkan oleh Negara Indonesia yang pada awalnya melalui pengumuman pemerintahnya pada tanggal 13 Desember 1957 yang kemudian dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda “ bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari pada wilayah daratan Negara republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara republik Indonesia.

Dengan begitu Indonesia merupakan paduan tunggal yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara daratan dan lautan serta udara diatasanya. Konsepsi baru ini kemudian diperkokoh dengan undang-undang No. 4 Prp 1960, dmn ketentuan ini menyebutkan seluruh kepulauan dan perairan Indonesia adalah suatu kesatuan dimana dasar laut, lapisan tanah dibawahnya, udara diatasnya serta seluruh kekayaan alamnya berada dibawah kedaulatan Indonesia.

Kemudian, dilengkapai pula dengan peraturan pemerintah No.8 tahun 1962 tentang lalu lintas damai kendaraan air asing dalam perairan Indonesia dan keputusan Presiden republik Indonesia No.16 Tahun 1971 tentang wewenang pemberian izin berlayar bagi segala kegiatan kendaraan air asing dalam wilayah perairan Indonesia. Selanjutnya Indonesia dalam konfrensi hukum laut PBB tahun 1982 berhasil meloloskan konsep Negara kepulaun yg telah diperjuangkan selama 25 tahun yg dimulai pada Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Didalam konvensi 1982 tepatnya Pada BAB IV dengan Judul Negara Kepulauan dan terdiri atas 9 Pasal, dari Pasal 46-54.

Setelah diterimahnya konsep Negara kepulauan oleh masyarakat internasional maka Indonesia segera meratifikasi konvensi PBB 1982 dengan UU No. 17 tahun 1985 tanggal 31 Desember 1985. Dan pada tahun 1996 dikeluarkan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Dalam pasal 2 UU 1996 menyebutkan Negara Indonesia adalah Negara kepulauan yang berarti; segala perairan disekitar, diantara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara republik Indonesia dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah RI sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada dibawah kedaulatan Negara RI.

Dengan adanya pengakuan internasional tentang Negara kepulauan maka ada tiga tipe Negara berdasarkan hukum laut, yaitu; Negara kepulauan, Negara pantai dan Negara tak berpantai. Dari kata-kata yang memiliki makna yg berbeda ini, sudah terlihat perbedaan antara ketiga tipe Negara ini, plg mencolok adalah Negara tak berpantai yakni Negara yang batas wilayah teritorialnya tentu hanya wilayah daratan(tanah). Kemudian antara Negara kepulauan dan Negara pantai tentu saja ada perbedaan namun ada juga persamaannya, yakni kedua Negara memiliki batas territorial laut (pantai), namun Negara pantai lebih kepada kesatuan wilayah tak tunggal, artinya klaupun mereka memiliki wilayah dipulau maka wilayah itu dalam penentuan batasnya wilayahnya akan menggunakan standar negara pantai, lain halnya dengan Negara kepulauan yang sudah pasti terdiri dari pulau-pulau tetap menjadi kesatuan utuh dan tunggal dimana penentuan wilayah teritorialnya ditarik/ditentuakan berdasarkan pulau terluar.
Dan yang menjadi perhatian penulis adalah perbedaan relative antara Negara pulau dan Negara pantai dalam hal pemasangan pipa, kabel bawah laut baik untuk kepentingan komunikasi maupun penelitian serta perawatannya. Negara pulau dalam hal ini dibebankan kewajiban untuk member izin pemeliharaan dan penggantiannya, hal ini tertuan dalam pasal 51 ayat (2) ‘ Negara kepulaun harus menghormati kabel-kabel yang ada yang memalui kepulauannya tanpa melalui daratan. Sedangkan kedaulatan Negara pantai meliputi dasar dan tanah dibawah perairan pedalaman dan laut territorial.

Pada pasal 58 menunjuk kebebasan meletakkan kabel dan pipa sebagai suatu kebebesan dilaut lepas yang diterapkan di Zona Economi Esklusif (ZEE). Namun kebebasan yang sangat luas ini, harus mengakui hak-hak Negara pantai di ZEE. Untuk landas kontinen konvensi menetapkan ketentuan yang sedikit berbeda dan agak ganjil karena dasar tanah dibawah ZEE, jatuh bersamaan dengan landasn kontinen baik seluruh maupun sebagian. Pasl 57 mengakui hak semua Negara untuk meletakkan kabel atau pipa dibawah laut, tetapi hak-hak tersebut harus tunduk kepada sejumlah peraturan.

Negara pantai tidak boleh menghalangi kabel dan pipa bawah laut namun berhak melakukan tindakan-tindakan yang layak untuk ekspolarasi dan eksploitasi landas kontinen serta mencegah pencemaran dari pipa tersebut dan penentuan jalur lintasan pipa dilandas kontinen harus dilakukan dengan izin Negara pantai.


Daptar Pustaka
- DR. Boer Mauna, Hukum Internasional ,Edisi Ke-2 tahun 2005
- Negara Maritim dan Bangsa Maritim – Indonesia Maritime Club.htm

Tugas hukum Laut Internasional (perbandingan UU di indonesia)

PERBANDINGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 4 Prp TAHUN 1960 Tentang PERAIRAN INDONESIA Dengan
UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1996 Tentang PERAIRAN INDONESIA

a.Latar Belakang Penerapan

Sebagai suatu bangsa yang merdeka, bangsa Indonesia melakukan pembangunan disemua sector, hal itu pun dilakukan diwilayah hukum. Pembangunan disektor hukum tentunya bukan hanya diwilayah konstitusi tetapi sampai kepada undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang demi tercapainya Negara yang tertib dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam tulisan kelompok kami ini ada dua peraturan hukum, dimana ada aturan hukum yang lama dan ada aturan hukum yang baru, Yang mana aturan baru meniadakan aturan lama. Aturan hukum yang kami maksud lama yang diganti dengan aturan hukum yang baru adalah Undang-undang No.4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang diganti dengan Undang-Undang No.6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia.

Undang-undang No.4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dibuat setelah 15 tahun kemerdekaan Indonesia dengan dasar ;

1.Bentuk geografis Indonesia yang mempunyai corak dan cirri tersendiri.

2.Sejarah Indonesia adalah Negara pulau tetapi tetap suatu kesatuan.

3.Untuk keutuhan Negara Indonesia seluruh kepulauan dan laut diantaranya harus tetap dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat.

4.Dan aturan dalam “Territoriale Zee en Marieeteme Kringen Ordonnantie 1993” ( Staatsblad 1993 no.442 ) Pasal 1 ayat (1) “ yang membagi daratan Indonesia dalam bagian terpisah dengan teritorialnya sendiri

5.Serta Rekomendasi Musyawarah Kabinet Kerja pada tanggal 20 januari 1960
Hal ini lah yang mendasari lahirnya Undang-undang No.4 Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
Undang-undang No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dengan dasar ;

1.Kenyataan sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia, Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, sebagai negara kepulauan dengan Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 dan Undang- undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia telah menetapkan wilayah perairan Negara Indonesia.

2.Keberhasilan memperjuangkan konsepsi hukum negara kepulauan dengan dimuatnya ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut).

3.Pengaturan hukum negara kepulauan yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim hukum negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam Bab IV Kon-vensi tersebut pada huruf b.

4.Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut) (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3319).

b.Perbandingan Undang-Undang No.4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia Dengan Undang-Undang No.6 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
Melihat nomor dan tahun berlakunya suatu Undang-undang yang berbeda tentu kita akan menemukan warna atau ciri khas tersendiri dari suatu undang-undang, walaupun undang-undang itu mengatur hal yang sama.

Dalam tulisan ini kelompok kami mencoba membandingkan antara Undang-undang No.4 Prp tahun 1960 dengan Undang-undang No.6 tahun 1996 dengan hasil analisis perbandingannya adalah;
Pada Undang-undang no.4 prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia ditemukan bahwa;

1.Undang-undang no.4 Prp tahun 1960, hanya sebagai peraturan pemerintah pengganti undang-Undang yang dibuat dalam waktu yang cepat mengingat adanya aturan internasional yang ketentuannya merugikan bagi bangsa Indonesia seperti yang telah dijelaskan pada letar belakang penerapan.

2.Undang-undang no.4 Prp 1960 hanya memiliki 4 pasal, dimana aturan yang didalamnya tentu tidak luas cakupannya.

3.Pada pasal-pasalnya sangat sedikit mengatur (kurang aturannya).

4.Undang-undang no.4 tahun 1960 adalah sebuah aturan nasional yang pengakuan internasionalnya belum ada, mengingat belum disetujuinya konsepsi Negara kepulauan Indonesia seperti dalam Deklarasi Juanda 13 Desember 1957dalam konvensi internasional. Sedangkan,Pada undang-undang no.6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia ditemukan bahwa;

1.Undang-undang no.6 tahun 1996 ini lahir sebagai aturan hukum yang lebih kompleks dari undang-undang no.4 Prp tahun 1960, dan sebagai amanat dari ratifikasi Konvensi hukum laut PBB pada tahun 1982 dengan Undang-undang no.17 tahun 1985 tentang pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea.

2.Undang-undang no.6 tahun 1960 lebih luas dan kompleks aturannya, dengan diaturnya mengenai hak lintas bagi kapal-kapal asing, dimana terdapat 4 (empat) bagian yaitu, Hak lintas damai, hak lintas alur laut kepulauan, hak lintas transit, hak akses dan komunikasi.

3.Undang-undang ini jg mengatur mengenai pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia serta penegakan kedaulatan dan hukum diperairan Indonesia.

4.Dengan berlakunya undang-undang No.6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia maka undang-undang No.4 Prp tahun 1960 dinyatakan tidak berlaku.
Demikianlah analisis perbandingan antara undang-undang no.4 Prp tahun 1960 tentang perairan Indonesia dengan Undang-undang no.6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi seluruh teman-teman mahasiswa terutama kelompok kami. Dan diharapkan adanya diskusi-diskusi diantara teman-teman mahasiswa mengenai analisis perbandingan undang-undang ini supaya lebih jelas kebenaran dari perbandingan undang-undang.

Arbitrase Internasional

Tugas
Hukum Arbitrase Perdagangan internasional

Hukum arbitrase perdangangan internasional adalah hukum yang lahir dari sebuah perjanjian internasional dalam bidang perdagangan internasional. Hukum arbitrase internasional adalah merupakan salah satu upaya hukum dalam melakukan penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang melakukan perjanjian internasional. Perjanjian bilateral pertama secara formal pada tahun 1794 dalam perjanjian Jay (jay treaty) antara Amerika Serikat dengan Inggris.

Namun pada tulisan ini kita tidak akan membahas mengenai sejarah dan perkembangan hukum arbitrase perdagangan internasional, kita akan melakukan loncatan langsung pada tata cara penyelesaian sengketa dalam hukum arbitrase internasional, yaitu :

1.Dicantumkannya klausul arbitrase dalam perjanjian sebagai cara penyelesaian sengketa di kemudian hari.
2.Penunjukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa masing-masing anggota arbitrator yang komposisinya di seimbangkan antara kedua belah pihak.
3.Kemudian anggota yang telah dipilih oleh pihak yang bersengketa menunjuk orang sebagai pihak ketiga selaku ketua arbitrator.
4.Setelah terbentuk para hakim arbitrase yang didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak melalui anggota yang ditunjuknya, kemudian dilakukan kesepakatan antara kedua pihak yang bersengketa mengenai hukum yang akan dipakai oleh arbitrator.
5.Setelah kesepakatan antar pihak yang bersengketa mengenai hukum yang diterapkan dalam sengketa, maka dilakukan proses beracara.
6.Acara persidangan dilakukan dengan dua tahap, tertulis dan lisan
7.Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan sengketa diserahkan sebelum persidangan tertulis dan tertutup.
8.Kemudian dilakukan pemanggilan para saksi-saksi termasuk saksi ahli.
9.Dilakukan pemutusan setiap tuntutan yang berkaitan dengan pokok perkara.
10.Dilakukan perlindungan sementara atas yang dipersengketakan
11.Memutus perkara.
12.Persidangan sifatnya rahasia, putusan sifatnya mengikat karena berdasarkan kesepakatan para pihak.


Nama: Akbar
Nim : B III 06 291

Hukum Pengungsi Internasional

Life is Freedoom....

BAB I
PENDHULUAN

A.Latar Belakang
Hukum Pengungsi internasional adalah turunan dari salah satu pengaturan hukum internasional. Hukum pengungsi internasional lahir demi menjamin keamanan dan keselamatan pengungsi internasional di negara tujuan mengungsi. Selain memberikan perlindungan dinegara tujuan, pengungsi internasional juga dilindungi oleh negara-negara yang dilewatinya dalam perjalanan ke negara tujuan mengungsi.

Dalam dunia internasional yang mengalami perkembangan baik dari segi informasi, teknologi serta juga dalam bidang hukum internasional. Hal ini pun terjadi dibidang hukum pengungsi internasional. Pengunsi internasional, terjadi dinegara-negara dunia tentu saja diakibatkan oleh kondisi-kondisi yang membuat seseorang lebih memilih untuk berpidah (mengungsi) dari negara asalnya kenegara lain. Kondisi-kondisi yang dimaksud, adalah kondisi yang tidak aman bagi seseorang atau kelompok, apabila tetap berada pada wilayah negara tertentu, jadi demi keamanan dan keselamatan orang, kelompok tersebut memilih untuk berpindah kewilyah negara yang lebih aman bagi mereka.

Namun pada perkembangan dunia internasional perluh kiranya diketahui bahwa tidak semua orang, kelompok yang berpindah dari satu wilayah negara ke wilayah negara lainnya dengan serta merta dikategorikan sebagai pengungsi internasional. Banyak dari orang, kelompok yang berpindah dari negaranya dengan cara illegal. Illegal disini maksudnya dengan menjadi imigran gelap atau memasuki wilayah suatu negara dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan internasional.

Selain dengan cara menjadi imigran gelap, ada pula yang dilakukan dengan mengajukan permintaan suaka kepada negara tujuan sesuai dengan aturan dan kategori untuk mendapatkan suaka. Agar jelas perbedaan dari pengungsi internasional dengan cara-cara lain yang dilakukan dalam memasuki wilayah suatu negara maka penulis menengahkan rumusan masalah seperti dibawah ini.

B.Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1.Bagaimana keadaan seseorang bisa dikatakan sebagai pengungsi dan Bagaimana peran UNHCR di indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN

1.Kedudukan Pengungsi Internasional dan Peran UNHCR di Indonesia

Pada rumusan masalah telah di ketengahkan bahwa bukan hanya dengan cara menjadi pengungsi internasional, orang, kelompok dapat melakukan perpindahan dari negara asal ke negara tujuan. Banyak cara yang bisa dilakukan oleh orang, kelompok untuk melakukan perpindahan ke wilayah negara tujuan.

Cara yang dilakukan oleh orang, kelompok untuk berpindah ke wilayah negara tujuan menentukan sikap negara tujuan dalam menangani orang, kelompok tersebut. Hal ini menjadi penting karena tentunya penanganan oleh negara tujuan sesuai dengan aturan internasional yang menjadi aturan yang disepakati oleh negara-negara didunia.
Migrasi yang dilakukan oleh orang, kelompok tersebut berkaitan erat dengan Hak Asasi manusia (HAM), terutama mengenai Suaka dan Pengungsi Internasional. Hal ini pun mendapat perhatian oleh pemerintah Negara Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Imigrasi Indonesi bekerjasama dengan UNHCR melaksanakan Program Peningkatan Kapasitas dalam bentuk 15 (lima belas) kegiatan workshop yang terkait dengan masalah pengungsi yaitu “Workshop Antar Instansi Pemerintah mengenai Hukum Pengungsi Internasional dan Peran UNHCR di Indonesia”di Hotel Santosa Resort, Lombok Nusa Tenggara Barat, 20-21 Juli 2010.

Rencana Hak Asasi Manusia (Ranham) 2004-2009 yang akan diperbarui pada RANHAM 2010-2014 . Pada prinsipnya permasalahan pengungsi dan pencari suaka merupakan hal yang erat hubungannya dengan pertimbangan kemanusian dan hak asasi manusia. Permasalahan pengungsi sangat rentan dengan adanya kejahatan-kejahatan lintas negara, seperti penyelundupan manusia (people smuggling) dan perdagangan manusia (trafficking in persons).

Dalam sambutannya Haryo Sasongko, mengharapkan bahwa dalam workshop ini para peserta dapat melakukan peningkatan koordinasi kerja untuk melakukan pengembangan dan pertukaran data, informasi dan analisa antar negara regional. Sehingga dapat mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan lintas negara, seperti penyelundupan manusia (people smuggling) dan perdagangan manusia (trafficking in persons) dan juga adanya tumpangan kepentingan dari tujuan migrasi para pencari suaka dan pengungsi .

Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi negara tujuan bagi para pemohon Suaka dan Pengungsi internasional. Menurut data United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR), hingga bulan Juni 2009 tercatat ada 1.928 orang migran masuk ke Indonesia. Dari data tersebut terdapat 441 orang sebagai pengungsi dan 1.478 orang pencari suaka. Lebih lanjut, UNHCR mencatat lima negara asal pencari suaka dan pengungsi yang masuk ke Indonesia ialah Afghanistan (1.200 orang), Myanmar (300 orang), Irak (282 orang) dan sisanya dari negara Sri Lanka dan Somalia. Pusat penyebaran mereka pun terdapat di beberapa daerah seperti Jakarta (908 orang), Aceh (265 orang), Bogor (254 orang), Mataram (174 orang) dan di daerah lainnya 100 orang. Dari data tersebut, dapat kita asumsikan bahwa Indonesia merupakan tempat strategis, baik sebagai tempat mengungsi maupun sebagai tempat transit para pengungsi. Hal ini yang melatarbelakangi adanya kebutuhan yang penting dan mendesak yang perlu diakomodir oleh pemerintah, karena sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Wina 1951 tenang Status Pengungsi .

Walaupun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Wina 1951, Setidaknya terdapat tiga peraturan yang bersifat administratif dan teknis yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah terkait \ dengan persoalan pengungsi, walaupun tanpa menggunakan atau mendefinisikan istilah “pengungsi” sebagaimana dipahami berdasarkan hukum internasional. Instrumen nasional, pertama adalah Surat Edaran Perdana Menteri No.11/RI/1956 tanggal 7 September 1956 tentang Perlindungan Pelarian Politik. Yang kedua adalah Keputusan Presiden No.38 Tahun 1979 tentang Koordinasi Penyelesaian Masalah Pengungsi Vietnam. Dan yang ketiga adalah Keputusan Presiden No.3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi .
Dari ketiga aturan tersebut jelas bahwa Indonesia sangat antusias mengenai perluhnya meratifikasi Konvensi Wina 1951 sebagai instrument hukum internasional bagi pengungsi internasional.

Untuk menentukan seseorang adalah pengungsi internasional rujukan yuridisnya adalah Konvensi Wina 1951 tentang Status Pengungsi pada Pasal 1 bagian A poin 2, yang berbunyi :

Sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan dikarenakan ketakutan yang beralasan akan disiksa karena alasan-alasan ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dari suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat politik, ada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat, atau karena ketakutan tersebut tidak mau memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh perlindungan dari negara yang bersangkutan, atau yang karena tidak mempunyai kewarganegaraan dan karena berada di luar negara bekas tempat tinggalnya, scbagai akibat peristiwa-peristiwa tersebut, tidak memungkinkan atau, dikarenakan ketakutan tersebut, tidak mau kembali ke bekas tempat tinggalnya itu .

Dari pasal ini dapat ditarik beberapa poin yang berkaitan dengan status orang, kelompok yang kemudian dapat dikatakan Pengunsi Internasional. Poin itu adalah karena alasan-alasan ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dari suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat politik. Namun poin yang paling menentukan seseorang bisa dikategorikan sebagai pengungsi adalah mengenai ancaman terhadap jiwa mereka apabila tetap berada di negara asal mereka. Pasal ini berkaitan dengan jaminan Hak Asasi Manusia yang sangat dijunjung tinggi negara Indonesia.

Pengungsi internasional dikalangan awan hampir memiliki arti yang sama dengan Suaka internasional. Dalam kaitannya dengan suaka, perlu dibedakan perbedaan antara pencari suaka dan pengungsi, Perbedaan itu ada pada status suakanya. Pada dasarnya kedua pihak adalah orang yang terpaksa memutuskan hubungan dengan negara asalnya karena rasa takut yang mendasar dan tidak mungkin untuk kembali lagi. Akan tetapi kedudukan dari seorang pencari suaka dikatakan demikian apabila dalam pengajuan suakanya pada negara lain yang bersangkutan belum diakui status suakanya atau apabila suakanya itu ditolak sementara pengungsi adalah status kelanjutan keberadaannya di luar negeri apabila status suakanya itu diterima oleh negara lain dengan mengacu pada ketentuan hukum internasional yang ada.


BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan

Dari pembahasan diatas penulis menarik kesimpulan bahwa sangat penting perlindungan dilakukan terhadap para pengungsi internasional baik oleh negara tujuan, atau negara-negara yang menjadi negara persinggahan sebelum para pengungsi sampai pada negara tujuan, mengingat kondisi para pengungsi yang sangat riskan menjadi sasaran kejahatan dikarenakan para pengungsi internasional selalu melakukan perjalanannya dengan persiapan yang kurang baik.

B.Saran

Sebagai bangsa yang menjujung tinggi penghormatan dan penegakan hak asasi manusia, hendaknya rejim pengaturan secara legal terhadap pengungsi dan pencari suaka di negara ini bisa diciptakan lebih komprehensif, baik mekanisme hukum dan kelembagaannya. Salah satu langkah strategis ialah dengan meratifikasi Konvensi Wina 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokolnya. Memang kebijakan luar negeri belum menjadi hal yang populer dan menjual pada masa kampanye saat ini. Kebijakan soal hak asasi manusia seringkali dilihat hanya sesempit masalah perut, namun sebenarnya terdapat banyak ancaman terhadap martabat manusia, termasuk masalah pengungsi dan pencari suaka. Sebagaimana Arendt berpendapat bahwa human rights are not a given of human nature; they are the always tenuous results of a politics that seeks to establish them, a vigorous politics intent on constituting relatively secure spaces of human freedom and dignity. Jadi, sebagai negara bangsa, Indonesia justru jangan menjadi pengahalang terhadap ‘pencarian’ martabat manusia dengan hanya mengakui hak suaka dalam konstitusi, namun lebih melihat ini sebagai the fundamental deprivation of human rights.


Daftar Pustakaa

Sabtu, 15 Januari 2011

Makalah Hukum Perjanjian Internasional "ReserVation"



BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang Masalah

Perkembangan sumber hukum internasional sampai pada akhir tahun 2008 sangat signifikan, hal ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun perkembangan sumber hukum internasional ini tetap menempatkan perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral sebagai sumber utama hukum internasional.
Penjanjian(treaty) baik bilateral maupun multilateral merupakan suatu bentuk kodifikasi hukum kebiasaan kedalam hukum positif internasional. Proses kodifikasi biasanya dilakukan dalam konvensi- konvensi internasional. Didalam konvensi biasanya dilakukan perumusan, perundingan, singkatnya sampai pelaksanaan isi perjanjian, baik dengan cara ratifikasi atau aksesi bagi negara yang mau terikat hak dan kewajibannya terhadap perjanjian. Seyogyanya isi perjanjian dilaksanakan secara penuh agar tercapai kesempurnaan perjanjian itu sendiri, namun hal ini tentunya sulit dicapai ketika melibatkan kepentingan setiap negara yang ikut dalam konvensi. Kepentingan negara- negara yang berbeda inilah yang biasanya membuat alok pada saat perumusan dan perundingan suatu substansi perjanjian. Keadaan dilema bagi negara peserta konvensi dipertaruhkan ketika isi perjanjian itu pada umumnya atau lebih banyak yang sesuai dengan kebutuhan(menguntungkan) negaranya, tetapi ada beberapa bagian dari perjanjian yang memang tidak dibutuhkan(tidak menguntugkan) bagi negara tersebut ataupun bertentangan dengan konstitusi negaranya. Untuk menghindarkan negara mundur atau tidak meratifikasi dan atau mengaksesi perjanjian maka suatu perjanjian dibuatkan suatu pengecualian dalam bentuk RESERVATION atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama persyaratan.
Persyaratan(reservation) berlaku juga bagi negara ketiga yang ingin ikut serta dalam perjanjian tetapi tidak ikut dalam konvensi. Persyaratan disini memberikan angin segar bagi negara yang ingin terikat dalam perjanjian tapi tidak secara penuh menerima semua ketentuan dalam perjanjian.

I.II Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah, rumusan masalah untuk makalah ini adalah:
1. Seberapa besar pengaruh kedaulatan negara dalam menekan untuk lahirnya sebuah Persyaratan, dan apakah instrumen dari persyaratan(reservation)?
2. Apakah perbedaan reservation sistem suara bulat dengan sistem pan Amerika,
Dan kasus reservation atas Konvensi Genocide tahun 1951(tentang pencegahan dan penghukuman atas kejahatan genocide)?


BAB II
PEMBAHASAN

II.I Pengertian

Awalnya reservation (persyaratan) didefinisikan berbeda-beda berdasarkan subyek yang memberikan defenisi. Adapun defenisi bebes terhadap reservation yang secara umum itu ialah pernyataan sepihak yang dikemukakan oleh suatu negara pada waktu menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, yang isinya menyatakan “Menolak untuk menerima atau mengakui atau tidak mau terikat pada, atau tidak mau menerima akibat hukum dari salah satu atau beberapa ketentuan dari perjanjian tersebut, dan atau mengubah atau menyesuaikan isi atau memberikan arti tersendiri atas salah satu atau beberapa ketentuan dari perjanjian tersebut sesuai dengan kepentingan negara yang bersangkutan”, perbedaan pendapat ini dimungkinkan kalau belum ada defenisi yang disepakati bersama.

Namun dengan lahirnya konvensi wina 1969 sebagai instrumen hukum perjanjian internasional, pengertian persyaratan telah diterimah secara umum berdasarkan defenisi yang terdapat pada pasal 2 ayat 1 butir d “Persyaratan berarti suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan nama apapun yang dibuat oleh suatu negara, ketika menandatangani, meratifikasi, mengapksesi, menyetujui, atau mengaksesi atas suatu perjanjian internasional, yang maksudnya untuk mengesampingkan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian itu dalam penerapannya terhadap negara yang bersangkutan”. Dengan demikian substansi pasal 2 (1),d konvensi wina antara lain adalah merupakan pernyataan sepihak, berkenaan dengan waktu pengajuan persyaratan, dan berkenaan dengan substansi, maksud, dan tujuan dari persyaratan itu sendiri, serta pengajuan persyaratan itu harus dalam bentuk tertulis.

Dengan adanya pengertian yang diberikan terhadap reservation dalam konvensi wina berarti pengertian bebas tadi dengan sendirinya ditinggalkan karena sifatnya yang relatif demi terpenuhinya persamaan presfektif terhadap reservation.

II.II Pengaruh Kedaulatan Negara dalam Menekan Untuk Lahirnya Sebuah
Persyaratan, dan Instrumen Dari Persyaratan(reservation)
Resevation seperti telah diuraikan diatas didasarkan pada pasal 2 ayat 1 bagian d konvensi wina 1969 tentang perjanjian. Perjanjian merupakan manifestasi dari keinginan negara- negara atas sebuah aturan internasional yang penerapannya tidak bertentangan dengan konstitusinya dan tentunya tidak mencederai kedaulatan masing- masing negara. Kedaulatan merupakan salah satu unsur pembentuk negara sehingga aturan hukum internasional diusahakan serelevan mungkin dengan aturan hukum umum pada setiap negara didunia. Kedaulatan menurut kamus hukum internasional dan indonesia oleh Drs. Soesilo Prajogo, SH, yang diterbitkan Wacana Intelektual berarti “Kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah; kedaulatan suatu negara”, dengan mengacu pada defenisi diatas maka suatu problem akan muncul ketika negara- negara ikut dalam suatu konvensi internasional, dimana disetiap negara pasti mempunyai perbedaan konstitusi.

Kesadaran bahwa dalam sistem dan struktur masyarakat internasional, negara-negara sebagai subyek utama hukum internasional memiliki kedaulatan, dan dengan dasar kedaulatan itu maka negara tidak bisa dipaksa untuk menerima atau menyatujui sesuatu yang tidak sesuai dengan kepentingannya. Dalam hubungannya dengan suatu perjanjian internasional, atas dasar kedaulatan itu maka suatu negara berhak penuh untuk menentukan apakah akan menyatakan setuju terikat ataukah menolak terikat pada suatu perjanjian internasional. Problematisnya adalah ketika didalam perejanjian itu ada beberapa ketentuan yang merugikan dan ada juga yang menguntungkan bagi negara, pilihannya adalah menyatujui untuk terikat atau tidak sama sekali.
Pilihan manapun yang ditempuh akan menimbulkan masalah lanjutan baik bagi negara itu maupun bagi perjanjian itu sendiri, bahkan dalam ruang lingkup yang lebih luas akan menimbulkan dampak tehadap masyarakat internasional pada umumnya, lebih- lebih jika perjanjian itu merupakan perjanjian internasional multilateral global. Masalah yang timbul bagi negara adalah jika tidak mau terikat pada perjanjian padahal sebagian besar dari ketentuan perjanjian itu menguntungkan baginya, sebaliknya jika memaksakan terikat pada perjanjian padahal ada beberapa ketentuan yang merugikan bagi negaranya, hal ini menempatkan negara pada pilihan yang sulit.
Selanjutnya bagi perjanjian itu sendiri, hal ini akan menghambat bagi perkembangan hukum internasional dimana sumber hukum internasional adalah perjanjian internasional bila makin sedikit negara yang menyatakan setuju untuk terikat pada perjanjian tersebut. Hal ini juga akan menghambat konsep ideal dari perjanjian itu pada tatanan pelaksanaannya yang riil.

Bagi masyrakat internasional secara umum, terhambatnya suatu perjanjian internasional berkembang menjadi kaidah hukum positif berarti akan menghambat lahirnya sarana untuk mengatur kehidupan masyarakat internasional. Dengan dua pilihan diatas tentunya akan sulit dipenuhi oleh negara- negara yang ikut dalam perjanjian untuk terikat karena sifatnya yang terlalu ekstrim.
Untuk mengakomodasi kepentingan tiap- tiap negara tanpa mengesampingkan kedaulatan disatu sisi yang bersebrangan dengan ketentuan dalam perjanjian, kemudian diperkenalkan pranata hukum internasional yang disebut reservation(persyaratan) untuk menjembantangi kedaulatan negara- negara dalam keterikatannya pada perjanjian internasional dengan perjanjian itu sendiri. Hal ini membuat terang bahwa persyaratan(reservation) lahir dari sebuah jurang antara kedaulatan dan ketentuan pada suatu perjanjian.

Mengenai persyaratan instrumen positifnya diatur dalam konvensi wina 1969 pada pasal 2 ayat 1 d “defenisi dari persyaratan”, dan diatur pula dalam lima pasal yaitu pasal 19 “ mengenai ketentuan pengajuan suatu persyatan sampai pembatasannya pada perjanjian internasional”, pasal 20” mengenai diterimah atau ditolaknya persyaratan yang diajukan suatu negara oleh negara peserta lainnya”, pasal 21” diatur mengenai akibat hukum dari persyaratan”, pasal 22” diatur mengenai penarikan kembali suatu persyaratan atau sebuah penolakan”, pasal 23”pada pasal ini diatur mengenai prosedur persyaratan secara menyeluruh”. Dengan adanya aturan yang jelas mengenai persyaratan akan memudahkan bagi negara peserta konvensi atau negara ketiga apabila ingin ikut terikat pada perjanjian dengan mengecualikan beberapa ketentuan yang diperbolehkan oleh perjanjian itu sendiri.
Secara umum perjanjian internasional yang didalamnya diikuti oleh negara sebagai peserta berkiblat(atau instrumen hukumnya) pada ketentuan konvensi wina 1969 tentang perjanjian. Ketentuan dalam konvensi wina tegasnya terdapat 8(delapan) bagian yang terdiri dari 85 pasal, yang diharapkan dapat mengakomodasi ketentuan hukum internasional bagi suatu perjanjian.

II.III Perbedaan Reservation Sistem Suara Bulat dengan Sistem Pan Amerika,
Dan kasus reservation atas Konvensi Genocide tahun 1951(tentang
pencegahan dan penghukuman atas kejahatan genocide)
Pada masa awal lahirnya persyaratan sampai tahun 2008 ini dikenal dua macam sistem persyaratan. Dua sistem persyaratan itu adalah sistem persyaratan suara bulat dan sistem persyaratan pan Amerika. Sistem persyaratan suara bulat yaitu suatu mekanisme pengajuan persyaratan oleh suatu negara yang ingin terikat pada suatu perjanjian yang didasarkan atas persetujuan semua negara anggota perjanjian, dengan kata lain apabila ada negara anggota yang menentang persyaratan yang diajukan oleh negara yang ingin mengikatkan dirinya pada perjanjian tidak akan diterima sebagai anggota. Pada sistem ini semua negara anggota harus menyetujui persyaratan yang diajukan oleh negara yang ingin menjadi anggota agar persyaratan itu memiliki kekuatan mengikat dan berlaku positif, kalau tidak berarti negara yang ingin menjadi anggota tadi harus menerima secara keseluruhan ketentuan dalam perjanjian tersebut atau tidak menjadi anggota.

Sistem suara bulat ini, seperti mashab kontrak dalam hukum perdata yang mana lebih mengutamakan keutuhan dari substansi kontrak agar tidak mencederai maksud dan tujuan perjanjian tersebut. Perkembangan yang signifikan atas sistem suara bulat ini terjadi pada masa sebelum perang dunia I dan II, yaitu pada masa itu Liga Bangsa- Bangsa yang paling banyak menggunakan mekanisme ini, dan mengenai sistem suara bulat ini diatur dalam pasal 20 ayat 2 konvensi wina 1969.
Selanjutnya sistem yang kedua yaitu sistem pan Amerika, sistem ini dinamakan sistem pan Amerika dikarenakan sistem ini diperkenalkan dan diterapkan pertama kali dibenua Amerika, pada organisasi regional pada tahun 1932 dengan nama Organisation of American States. Mekanisme pada sistem ini tidak terlalu rumit menurut penulis untuk penerapannya dan membuka kesempatan perkembangan yang cepat bagi hukum perjanjian internasional itu sendiri.

Singkatnya pada sistem pan Amerika apabila negara yang ingin terikat pada perjanjian mengajukan persyaratan pada ketentuan perjanjian dan persyaratan ini mendapat tanggapan pro dan kontra dari negara anggota maka perjanjian ini tetap berlaku secara umum dan persyaratan hanya berlaku bagi negara yang pro terhadap persyaratan yang diajukan dan yang kontra tidak berlaku perjanjian tersebut dan akibat hukum bagi negara yang mengajukan persyaratan dan yang kontra pada persyaratan tidak berlaku baginya perjanjian tersebut. Mengenai sistem pan Amerika ini diatur dalam konvensi wina 1969 pada pasal 20 ayat 4, 5, pasal 21 ayat 1, 2, 3, dan pasal 22 ayat 1, 2, 3, serta pasal 23 ayat 1, 2, dan 3.
Dari uraian kedua sistem persyaratan diatas jelaslah perbedaannya, yang dari terminologi bahasanya sudah bisa menggambarkan perbedaan mendasarnya. Disini juga tampak dengan sangat jelas dari ketentuan yang mengaturnya dimana reservation pan Amerika lebih banyak mendapatkan tempat pengaturan didalam konvensi wina 1969 dari pada sistem suara bulat, hal ini tidak lepas dari dinamika sistem pan amerika yang lebih barpariasi dibandingkan sistem suara bulat.

Untuk lebih memahami reservation(persyaratan) berkenaang dengan tempatnya sebagai pranata hukum internasional penulis menyajikan sebuah kasus yang mengetengahkan antara tataran teori ke pengimplementasian persyaratan itu sendiri, sebagai berikut;

Ceis
Reservation atas Konvensi Genocide, 1951.
Pihak-Pihak yang Terlibat:
1. PBB Sebagai organisasi internasional yang menyelenggarakan konvensi
Genocide 1951 ini.
2. Negara- negara anggota PBB, yang pada tahun 1948 menyepakati secara bulat konvensi tentang Genocide dengan jumlah negara anggota PBB adalah 56 Negara, dan negara ketiga yang ingin ikut terikat yang karena konvensi yang sifatnya universal dan konvensi memberikan kemungkinan itu.
3. Mahkamah Internasional Pemberi Advisory Opinion yang diwakilkan 12(dua belas) hakim mahkamah internasional.
Duduk Perkara

Pada tanggal 9 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengesahkan sebuah konvensi yaitu Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide(Konvensi tentang pencegahan dan penghukuman atas kejahatan genocide) berdasarkan Resolusi nomor 206/III/48, dan berlaku pada tanggal 12 Januari 1951, yang menjadi masalah ternyata didalam konvensi tidak diatur mengenai Reservation(persyaratan), jadi tidak ada kejelasan apakah negara yang mau terikat pada konvensi Genocide ini diperkenangkan untuk mengajukan persyaratan atauka tidak sama sekali.
Didalam prosesnya konvensi itu untuk mengikat negara-negara, ternyata ada beberapa negara yang mengajukan persyaratan saat menyatakan persetujuannya untuk terikat dalam konvensi Genocide 1951 ini.

Penyelesaian Masalah:
Karena didalam konvensi Genocide tidak ada aturan yang secara splisit mengatur mengenai Reservation. Padahal hal ini merupakan persoalan hukum internasional yang sangat besar mengingat konvensi ini diakomodasi oleh Organisasi internasional, maka Majelis Umum PBB pada saat itu mengeluarkan Reselusi nomor 478/ V/ 1950, yang memohon Advisory Opinion(pendapat hukum) ke Mahkamah Internasional, dengan mengetengahkan masalah yang dihadapi oleh konvensi Genocide 1951, sebagai berikut;
Sepanjang berkaitan dengan konvensi tentang Genocide, dalam hal suatu negara yang menyatakan persetujuannya untuk terikat pada konvensi;
a. Dapatkah negara yang mengajukan persyaratan dipandang sebagai pihak atau peserta pada konvensi dengan tetap mempertahankan persyaratan yang diajukanya itu, jika persyaratan itu ditolak oleh satu atau lebih negara peserta, tetapi tidak ditolak atau disetujui oleh negara-negara peserta lainnya.

b. Jika jawaban atas pertanyaan a adalah positif (affirmative), bagaimanakah akibat hukum dari persyaratan tersebut dalam hubungan antara negara yang mengajukan persyaratan dan:
- Negrara-negara peserta yang menolak persyaratan itu?
- Negara-negara peserta yang menerima atau menyetujuinya?
c. Apakah akibat hukumnya berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan a, apabila keberatan atau penolakan terhadap persyaratan itu diajukan oleh:
- Negara yang menandatangani konvensi tetapi yang belum menyatakan persetujuannya untuk terikat atau belum meratifikasinya?
- Negara yang berhak untuk menandatanganinya maupun mengaksesinya tetapi ternyata tidak atau belum melakukannya?
Dalam menjawab pertanyaan ini, Mahkamah Internasional menyatakan;
Senua pertanyaan tersebut secara tegas dibatasi oleh Resolusi Majelis Umum PPB yakni hanya berkaitan dengan konvensi tentang gonecide, oleh karena itu, jawaban yang akan diberikan oleh Mahkamah pun juga secara tegas dibatasi hanya pada konvensi saja.Mahkamah akan mencari jawabannya didalam kaidah- kaidah atau peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan akibat hukum dai reservation maupun penerimaan dan penolakan terhadap reservation dalam perjanjian-perjanjian multilateral”.
Selanjutnya mahkamah mengatakan bahwa suatu perjanjian internasional tidak mengikat bagi negara yang tidak menyetujui untuk terikat begitupun sebaliknya. Mahkamah dalam hal menyampaikan pendapatnya memperhatikan faktor internal dan eksternal dari konvensi Genocide ini. Faktor internalnya antara lain meliputi mekanisme persetujuan perjanjian yang memakai sistem suara bulat diperberat, maksudnya suara bulat diperberat adalah pada saat kesepakatan diambil diadakan voting yang mana lebih banyak yang setuju(suara mayoritas) dengan mekanisme suara bulat untuk perjanjian Genocide ini, dengan kata lain sudah ada pihak(negara) yang berseblahan(yang minoritas pada saat pemungutan suara) dengan suara bulat ini, dan juga maksud dan tujuan dari konvensi Genocide ialah sebagai konvensi yang parmanen dan universal. Parmanen dan universal secara luas diartikan bahwa konvensi merupakan manifestasi dari penerimaan secara murni atas tujuan kemanusian dan peradaban umat manusia. Jadi dalam konvensi persamaan kepentingan adalah mutlak dengan berpegang pada prinsip-prinsip moralitas, tanpa memperhitungkan keuntungan dan kerugian atau hanya berdasarkan keseimbangan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya secara kontraktual saja sebagaimana dimaksud dan tujuan dari perjanjian.
Faktor eksternalnya ialah perlunya diperhatikan kondisi untuk penerapan konvensi Genocide yang bermuarah ke sifat yang lebih luwes untuk keutuhan konvensi, ditambah pihak PBB sebagai pihak yang mengakomodasi pelaksanaan konvensi bersifat sangat universal dan aturan negara-negara yang bisa menjadi peserta berdasarkan ketentuan dalam konvensi(pasal XI konvensi). Faktor selanjutnya adalah paham yang kental pada saat itu, dimana paham ini menengahkan bahwa maksud dan tujuan perjanjian tidak bisa digagalkan oleh suatu keputusan sepihak atau persetujuan khusus antara beberapa pihak dalam perjanjian, paham ini didasarkan pada prinsip kedaulatan tiap-tiap negara (paham ini berkembang dan menjadi landasan pembuatan kontrak”yaitu kontrak haruslah utuh dan bulat”).
Itulah kedua faktor yang mempengaruhi konvensi Genocide, kemudian mahkamah berpendapat bahwa maksud dan tujuan konvensi adalah untuk membatasi, baik membatasi kebebasan untuk mengajukan persyaratan atau penolakan terhadap persyaratan seperti maksud dan tujuan dari PBB dan Negara-negara yang menyatujui perjanjian agar makin banyak negara yang berpartisipasi dalam perjanjian. Jadi pengajuan persyaratan atau penolakan terhadap persyaratan harus dianggap sebagai tindakan penyempurnaan dari perjanjian sepanjang itu relevan dengan maksud dan tujuan perjanjian.
Mengenai laporan yang berkenaan dengan masalah ini, yang diterimah oleh dewan LBB pada tanggal 17 Juli 1927, yang menyatakan bahwa sering terjadi persetujuan secara diam-diam yang memiliki peranan tersendiri atas reservation dalam suatu perjanjian, namun hal ini tidak menegaskan adanya peraturan. Lalu melihat kebiasaan dalam penolakan terhadap persyaratan itu sangat sering tidak terjadi dalam perjanjian yang konsekuensinya tidak ada alasan untuk membuatkan aturan hukum internasional semacan ini. Presfektip yang palig baik dianut adalah bahwa rekomendasi yang dibuat untuk Dewan LBB pada tanggal tersebut merupakan titik tolak dari suatu praktik administratif yang diterapkan dan ditaati dikalangan sekretariat LBB.
Akhirnya Mahkamah Internasional dengan perbandingan suara tujuh orang hakim menyetujui sedangkan lima orang hakim menolak, memberikan Advisory opinionnya atas permohonan yang diajukan oleh PBB, dan menyatakan;
- Bahwa jika ada suatu negara yang mengajukan persyaratan yang ternyata ditolak oleh satu atau lebih negara peserta dalam konvensi tetapi disetujui atau tidak ditolak oleh negara peserta yang lainnya, negara yang mengajukan persyaratan itu dapat dipandang menjadi peserta pada konvensi, apabilah persyaratan itu sesuai dengan atau tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari konvensi, tetapi sebaliknya jika persyaratan itu bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi, maka negara tersebut tidak dapat dipandang peserta pada konvensi.
- Bahwa jika salah satu negara peserta menolak persyaratan yang diajukan oleh suatu negara yang dipandangnya bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi, negara itu dalam kenyataannya dapat menganggap bahwa negara yang mengajukan persyaratan tersebut bukan sebagai pihak atau peserta pada konvensi.
- Bahwa jika lain pihak , suatu negara peserta ada yang menerima atau menyetujui persyaratan tersebut karena menganggapnya sesuai dengan maksud dan tujuan konmvensi, maka negara yang menyetujui itu dalam kenyataannya dapat memandang negara yang mengajukan persyaratan sebagainpihak atau peserta pada konvensi.
- Bahwa keberatan atau penolakan terhadap suatu persyaratan yang dikemukakan oleh negara penandatangan yang belum meratifikasi atau belum menyatakan persetujuannya untuk terikat pada konvensi akan meulai menimbulkan akibat hukum dalam hubungannya dengan jawaban pertama diatas, hanya sesudah negarab itu menyatakan persetujuannya untuk terikat atau sesudah negara itu meratifikasinya.
- Bahwa keberatan atau penolakan terhadap suatu persyaratan yang diajukan oleh suatu negara yang berhak untuk menandatangani atau mengaksesinya tetapi ternyata negara itu tidak atau belum melakukan pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian itu, keberatan atau penolakan tersebut tidak memilki akibat hukum apapun.
Dengan merujuk pada Advisory opinion Mahkamah Internasional yang pertimbangannya meliputi faktor internal dan eksternal yang telah dijelaskan sebelumnya ditambah perbedaan Presfektif(pandangan) dari negara-negara terhadap reservation, maka PBB dalam kasus Genocide 1951 menerapkan Advisory opinion Mahkamah internasional untuk menyelesaikan masalah persyaratan ini.


BAB III
PENUTUP
III. I Kesimpulan

Reservation(persyaratan) merupakan pranata hukum internasional yang sangat relevan dengan kebutuhan negara –negara akan aturan hukum internasional yang mana sumbernya dari perjanjian internasional. Reservation juga memberikan kepastian akan bisanya dikecualikan beberapa ketentuan yang bertentangan dengan keinginnan negara –negara akan aturan internasional selama itu tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian itu sendiri. Dengan adanya persyaratan, kedaulatan tiap-tiap negara juga terakomodasi dalam perjanjian.

Mengenai sistem suara bulat bagi reservation menurut hemat penulis merupakan sebuah kegagalan awal dari perjanjian dan persyaratan itu sendiri, dikarenakan dalam hal ini bisa saja negara menolak untuk meratifikasi disebabkan bertentangan dengan kedaulatannya dimana perluh diingat bahwa persyaratan merupakan implikasi dari sebuah kedaulatan. Dengan adanya sistem pan Amerika yang kembali menurut hemat penulis merupakan mekanisme yang tepat bagi reservation karena cukup luwes dan akomodasi untuk kedaulatan negara-negara yang ingin mengikatkan dirinya pada suatu konvensi.

Pada kasus Genocide, Advisory opinion Mahkamah Internasional sudah Preskriftip(apa yang seyogyanya), dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah dijelaskan sebelumnya, di tambah penulis memberikan Apreasi bagi Mahkamah internasional yang sangat mapan mempergunakan Prespektif hukum murni dalam kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA
“ I Wayan Parthiana, SH. MH
Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1,Bandung, Januari 2002
“ Drs. Soesilo Prajogo, SH
Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, Cetakan 1, tahun 2007
“ Haula Adolf
Hukum Perdagangan Internasional, Bandung, November 2004
“ Konvensi Wina 1969 Tentang Penjanjian Internasional.
Foto Copy Naskah Transletnya ke Bahasa Indonesia

Kejahatan Internasional "Pendefenisian Agresi"

AGRESI

Agresi adalah suatu kejahatan internasional seperti yang terdapat dalam statute roma 1998 yang dibentuk sebagai landasan normatif, Internasional Criminal Court (ICC) untuk dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan
internasional.

Mengenai defenisi dari agresi ini dapat dilihat dalam statute roma pasal 5 ayat 2 yang bunyinya “ mahkamah melaksanakan yurisdiksi atas kejahatan internasional agresi setelah suatu ketentuan disahkan sesuai dengan pasal 121 dan 123 yang mendefenisikan kejahatan dan menetapkan kondisi- kondisi dimana mahkamah menjalankan yurisdiksi berkenaan dengan kejahatan itu. Ketentuan semacam itu haruslah sesuai dengan ketentuan- ketentuan terkait dari piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa.” Selanjutnya bila dihubungkan dengan piagam PBB hal ini terdapat
pada BAB VII pasal 42 terkhusus.

Agresi dianggap sebagai suatu bentuk lain dari penyelesaian sengketa oleh Negara-negara terlebih lagi Negara Amerika Serikat dikarenakan agresi dibolehkan dengan alasan menciptakan keamanan & perdamaian dunia internasional, begitu pula pada saat AS mengagresi IRAK tahun 2004 , mereka mengelak dari tuduhan agresi militernya(intervensi).

Kesimpulan

Sampai saat ini defenisi yang jelas mengenai agresi belum ada, dengan artian penjabaran dari agresi kembali memerlukan interpretasi dari Negara yang melakukan dan di yang diagresi negaranya, yang seharusnya mendapat penguatan dari sisi positif hokum(normative) internasional agar batasan dari agresi jelas, mungkin dengan mengamendemen statute roma sesuai pasal 121 salah satu cara yang bias dilakukan. Dari sisi positifnya hal ini membolehkan suatu Negara memasuki wilayah kedaulatan Negara lain untuk membasmi hal-hal yang membahayakan perdamaian dan keamanan internasional tanpa mencederai kedaulatan Negara tersebut.

Sumber\
Statute roma 1998
www.google.com

Makalah Hukum Perjanjian Internasional " Case pulau Perijil"

Latar Belakang Pulau yang disengketakan:

Pulau perejil atau Pulau Parsley adalah sebuah pulau kecil di Laut Tengah, 200 m lepas pantai Maroko, 5 km dari Ceuta yang merupakan kantong/pusat pertahanan Spanyol. Pulau ini secara administratif merupakan sebuah Plaza de soberanía (tempat kedaulatan) Spanyol. Pulau Perejil tidak memiliki populasi manusia yang tetap, yang ada cuma sekawanang kambing jadi bisa dikatakan pulau ini tidak berpenghuni, luas pulau perejil sekitar 300 kali 500 meter persegi.
Case
Pulau perijil yang pada dasarnya sebuah pulau yang tidak berpenghuni, menjadi sengketa antara Maroko dan Spanyol pada saat pemerintah Maroko mengajukan klaim terhadap kepemilikan atas pulau leila setelah pendudukan Prancis berakhir pada tahun 1956 persisnya setelah pemerintahan dinegara ini cukup mandiri. Tentu saja hal ini sah-sah saja mengingat bahwa pulau perejil selama ini tidak berpenghuni ditambah tidak ada tanda-tanda bahwa pulau ini telah menjadi bagian territorial/wilayah bagi suatu Negara dengan tidak adanya penempatan penduduk dan tidak adanya bendera suatu Negara dipulau ini, namun apa bila dirujuk ke naska pemerdekaan Maroko wilayah pulau ini juga tidak termasuk territorial Maroko. Dengan adanya klaim dari Maroko ini Spanyol bereaksi bahwa pulau perejil ini adalah milik Spanyol sudah dari berabad-abad lalu tepatnya pada tahun 1668 namun sengaja tidak diaktifkan”(dibiarkan kosong). Dengan adanya dua klaim ini tentunya menimbulkan sengketa yang mana penyelesaiannya belum terealisasikan mengingat kedua Negara ngotot dengan opini yurisnya masing-masing. Hal inipun mendapat perhatian sekjen PBB Kopi annan yang menawarkan penyelesaian atas sengketa ini,namun tidak terlalu diperhatikan oleh kedua bela pihak. Dalam proses yang belum ada kepastiannya ini terjadi sesuatu yang menyebabkan keadaan memanas, dimana belakangan diketahui bahwa pemerintah Maroko telah menduduki Pulau perejil dengan menempatkan satu regu polisi (berjumlah 12 personil) yang seperduanya bermalam dan mengibarkan bendera Maroko dipulau itu,kemudian disusul penempatan beberapa serdadu. Hal ini langsung direspon oleh pemerintah Spanyol dengan melakukan serangan militer kejutan yang menggunakan helicopter untuk menerjukan para tentaranya.

Spanyol akhirnya mengambil alih pulau dari Maroko tanpa ada letusan senjata dan menyingkirkan bendera Maroko dari pulau tersebut. Perbuatan Spanyol ini membuat hubungan kedua Negara semakin tegang yang berimbas pengusiran masing-masing perwakilan dubes, dimana dubes Maroko untuk Spanyol bernama Abdelsalam Baraka dan dubes Spanyol untuk Maroko bernama Fernando Arias-Salgado. Dengan adanya pendudukan yang dilakukan oleh Spanyol ini membuat pemerintah Maroko mengeluarkan segmen bahwa Maroko adalah pihak yang dirugikan dan Spanyol adalah Negara Agresor. Hal ini mendapat respon dari Eropa yang pada awalnya menyatakan penempatan tentara Maroko diperejil adalah” pelanggaran atas wilayah Spanyol” tampak ragu setelah Spanyol melakukan serangan dan tidak membenarkan aksi militer itu, dan Liga Arab mendesak Spanyol agar menarik pasukannya, dan mengembalikan status pulau itu ke status awal. Sementara AS menyeru kedua negara untuk kembali ke status quo.

Spanyol melakukan pembenaran dengan mengatakan bahwa tindakan itu diambil dengan dasar mempertahankan diri karena sangat riskan membiarkan wilayah yang masih dalam sengketa diduduki oleh salah satu pihak.
Faktor-Faktor Yang Ikut Mempengaruhi
1. kekwatiran pulau itu menjadi tempat persinggahan bagi para imigran gelap yang ingin masuk wilayah kedua Negara.
2. kekwatiran pulau itu dijadikan tempat persembunyian para teroris.
3. pertikaian atas kedaulatan di Sahara barat
4. Penankapan ikan.
5. serta penyelundupan obat-obat terlarang

Penyelesaian:

Spanyol dan maroko sepakat untuk menyelesaikan sengketa pulau perejil/leila dengan jalan Diplomatik. Dimana spanyol akan menarik pasukannya dari pulau itu dan Maroko tidak akan mengirim pasukan juga,dan pulau itu dikembalikan ke keadaan sedia kala(sebelumnya) sampai ada kesepakatan selanjutnya, hal ini tidak lepas dari campur tangan pihak Amerika serikat sebagai penengah.

Yang Mewakili Pihak Yang Bersengketa:

Maroko diwakili oleh Mentri Luar negrinya yaitu Benaissa
Spanyol diwakili oleh Mentri luar negrinya yaitu Ana Palacio
Amerika.S diwakili oleh Mentri Luar negrinya yaitu Collin Powe

Kaitannya dengan konvensi WINA tentang validnya perjanjian:

Dalam kasus ini perjanjian antara maroko dengan Spanyol mengenai pulau perejil leila belumada jadi kalua ditinjau dari sini tentu tidak ada hubungannya antara kasus ini dengan validnya suatu perjanjian. Kalaupun dipaksakan keterkaitannya maka hanya akan bersinggunan dengan ;

pasal 52 tentang paksaan dari suatu negara dengan ancaman atau penggunaan kekuatan ” suatu perjanjian adalah batal jika penutupannya telah diperoleh karena ancaman atau penggunaan kekuatan yang melanggar prinsip-prinsip hukum inetrnasional yang tertuang di dalam piagam PBB ”

Hal inipun harus dilakukan penafsiran yang menyambungkan/keterkaitan antara bunyi pasal 52 yaitu ancaman atau penggunaan kekuatan yang melanggar prinsip-prinsip H.I yang tertuang didalam Piagam PBB dengan tindakan penyerangan tentara Spanyol terhadap tentara Maroko walau secara damai. Kalaupun ada perjanjian yang terjadi antara Spanyol dan Prancis mengenai pulau ini dimana prancis notabenonya pernah berkuasa,ini tidak lagi berlaku seiring dengan merdekanya Maroko.

Makalah Hukum Perdagangan internasional



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

World adalah tempat umat manusia memimplementasikan setiap refleksi dari kegiatannya. Implementasi dari setiap refleksi ini biasa bermacam-macam, dan didalam makalah ini akan dibahas salah satu bentuknya yakni dalam perdangangan dunia. Perdagangan dunia adalah kegiatan produksi dan komsumsi yang dilakukan oleh setiap manusia didunia ini. Pada awalnya (sebelum perang dunia II) kegiatan ini terlalu kaku dimana ada batas teritoal setiap Negara beserta benturan dengan hukum nasional setiap Negara yang sedikit merugikan para pelaku perdagangan dunia. Sampai pada akhirnya ditandatangani piagam Atlantic Charter pada bulan agustus 1941 dimana salah satu tujuan piagam ini untuk menciptakan suatu system perdagangan dunia yang didasarkan pada nondiskriminasi dan kebebasan tukar menukar barang dan jasa. Dengan tujuan tersebut serangkaian pembahasan dan perundingan dilakukan antara tahun 1943-1944 khususnya antara Amerika serikat, inggris dan Kanada dan akhirnya pada tanggal 6 desember 1944 Amerika serikat mengusulkan ITO (internasional trade organization).

ITO membawah angin segar bagi pelaku perdagangan dunia terutama bagi ketiga Negara diatas, namun piagam ITO ini tidak disepakati oleh Amerika Serikat dan tidak terlaksana, namun didalam pembahasan ITO di konprensi Jenewa, tersirat atau ikut dibahas aturan khusus mengenai perdagangan yaitu GATT(General Agriement Trade and Tarifs). Selanjutnya GATT akhirnya dijadikan organisasi(instrument) perdagangan dunia walau tidak pantas dijadikan sebuah organisasi karena tidak memiliki struktur dan badan penyelasaian sengketa namun kerena kekosongan hukum dalam hal ini maka GATT perlahan diakui oleh Negara-negara pelaku perdagangan bebas. GATT diberlakukan melalui “Protokol of Provisional Application” yang ditanda tangani 22 negara anggota asli GATT pada akhir tahun 1947. Pemberlakuan GATT ini dilakukan sambil merundingkan dan menogosiasikan sebuah organisasi yang lebih mapan dan lebih luas aturannya atau dengan kata lain sesuai dengan kebetuhan Negara-negara, yang mana hal ini dilakukan dalam sebuah konvensi.

Pada tahun 1994 jawaban atas hal inipun dijawab melalui Urugay round yang melahirkan kesepakatan oleh Negara-negara untuk membentuk WTO(world Trade Organitation). Dimana ada 8 putaran pertemuan yang dilakukan oleh GATT yang dimulai dari kota Jenewa Swiss pada tahun 1986-1994. WTO ini kemudian melahirkan aturan-aturan khusus seperti GATs, TRIMs, dan TRIPs Dan akhirnya aturan-aturan itu harus diratifikasi oleh Negara-negara perunding dan diAksesi oleh Negara yang ingin menjadi anggota dari WTO.

Hingga saat ini pedoman perdagangan dunia masih berdasarkan aturan WTO sebagai instrumen hukumnya atau koridor WTO. Sehingga Negara-negara yang menjadi pelaku utama market global terikat dengan ketentuan yang telah disepakati dalam GATT/ WTO yang berdasarkan prinsip-prinsip umum hukum internasional. Namun dalam bab-bab pembahasan penulis akan lebih banyak membahas tantangan industri dan jawaban industri terhadap Market Global dewasa ini. Lebih sppilist lagi penulis akan meninjaunya berdasarkan apa yang terjadi di Negara republic Indonesia. Dimana Negara R.Indonesia tentunya sebagai salah satu pelaku dalam perdagangan dunia memiliki kebijakan tersendiri dalam hal yang disebutkan diatas dengan konsekwensi yang siap untuk dipertanggungjawabkan sebagai bangsa yang mandiri.

B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latarbelakang masalah yang telah diuraikan diatas tentunya yang menjadi rumusan masalah adalah :
1. Tantangan apa dan Jawaban apa yang didapat dan diberikan oleh Indonesia dibidan technology terhadap Market Global ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian

Sebelum kita menjelajah dalam rimba ilmu pengetahuan ada baiknya kita mengetahui arti kata dari topic utama dalam makalah ini. Dimana penulis lebih kepada terminology dari pengartiannya, diawali dengan; tantangan adalah sesuatu yang bisa menghambat dan bisa melumpuhkun suatu kegiatan industri kalau tanpa penguasaan akan tantangan itu sendiri, kemudian jawaban adalah respon terhadap tantangan tadi dimana untuk dapat menaklukkan tantangan diperlukan suatu jawaban yang relevan. Analogi dasarnya adalah bila mahasiswa menghadapi final, tantangannya adalah pertanyaan-pertayaan yang diberikan oleh dosen dan jawabannya adalah sejauh mana mahasiswa tersebut mampu menyelasaikan tes tersebut dengan jawaban yang diinginkan oleh dosen.

Lalu pertanyaannya apa itu industri? Industri adalah kegiatan produksi dan konsumsi makro, dimana produksi dan konsumsi dilakukan dalam volume yang sangat besar, dan mulainya mesin berperan dalam kegiatan produksi. Tantangan dan jawaban industri sudah barang tentu sudah ada dari dimulainya proses perdagangan, hal ini tidak akan lepas dari cerita sukses bagi suatu Negara dibidan perdagangan dan cerita krisis tentunya. Sadar akan pilihan yang ada(bagaikan pisau bermata dua) kesalahan dalam memaneg adalah haram hukumnya, jadi pengetahuan dan ilmu tentunya sangat diperlukan terlebih sekarang tanpa adanya penguasaan dibidang teknologi ilmu pengetahuan ibaratkan senjata yang kehabisan peluru.

B. Tantangan dan Jawaban yang didapat dan diberikan oleh Indonesia dibidan technology terhadap Market Global
Diera globalisasi hal inilah yang sekarang banyak menyerang Negara terutama Negara-negara berkembang, yang salah satunya adalah Indonesia. Dimana proses globalisasi ekonomi dunia adalah perubahan perekonomian dunia yang bersifat mendasar atau struktural dan proses ini akan berlangsung terus dengan laju yang akan semakin cepat mengikuti perubahan teknologi yang juga akan semakin cepat dan peningkatan serta perubahan pola kebutuhan masyarakat dunia. Perkembangan ini telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan ekonomi dan juga mempertajam persaingan antarnegara, tidak hanya dalam perdagangan internasional tetapi juga dalam investasi, keuangan, dan produksi. Globalisasi ekonomi ditandai dengan semakin menipisnya batas-batas geografi dari kegiatan ekonomi atau pasar secara nasional atau regional, tetapi semakin mengglobal menjadi “satu” proses yang melibatkan banyak negara. Globalisasi ekonomi biasanya dikaitkan dengan proses internasionalisasi produksi, perdagangan dan pasar uang. Globalisasi ekonomi merupakan suatu proses yang berada diluar pengaruh atau jangkauan kontrol pemerintah, karena proses tersebut terutama digerakkan oleh kekuatan pasar global, bukan oleh kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh sebuah pemerintah secara individu.

Dalam tingkat globalisasi yang optimal arus produk dan faktor-faktor produksi (seperti tenaga kerja dan modal) lintas negara atau regional akan selancar lintas kota di dalam suatu negara atau desa di dalam suatu kecamatan. Pada tingkat ini, seorang pengusaha yang punya pabrik di Surakarta atau Jawa Tengah setiap saat bisa memindahkan usahanya ke Serawak atau Filipina tanpa halangan, baik dalam logistik maupun birokrasi yang berkaitan dengan urusan administrasi seperti izin usaha dan sebagainya.

Sekarang ini tidak relevan lagi dipertanyakan negara mana yang menemukan atau membuat pertama kali suatu barang. Orang tidak tau lagi apakah lampu neon merek Philips berasal dari Belanda, yang orang tau hanyalah bahwa lampu itu dibuat oleh suatu perusahaan multinasional yang namanya Philips, dan pembuatannya bukan di Belanda melainkan di Tangerang. Banyak barang yang tidak lagi mencantumkan bendera dari negara asal melainkan logo dari perusahaan yang membuatnya. Banyak produk dari Disney bukan lagi dibuat di AS melainkan di Cina, dan dicap made in China. Sekarang ini semakin banyak produk yang komponen-komponennya di buat di lebih dari satu negara (seperti komputer, mobil, pesawat terbang, dll.). Banyak perusahaan-perusahaan multinasional mempunyai kantor pusat bukan di negara asal melainkan di pusat-pusat keuangan di negara-negara lain seperti London dan New York, atau di negara-negara tujuan pasar utamanya.

Semakin menipisnya batas-batas geografi dari kegiatan ekonomi secara nasional maupun regional yang berbarengan dengan semakin hilangnya kedaulatan suatu pemerintahan negara muncul disebabkan oleh banyak hal, diantaranya menurut Halwani (2002) adalah komunikasi dan transportasi yang semakin canggih dan murah, lalu lintas devisa yang semakin bebas, ekonomi negara yang semakin terbuka, penggunaan secara penuh keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif tiap-tiap negara, metode produksi dan perakitan dengan organisasi manajemen yang semakin efisien, dan semakin pesatnya perkembangan perusahaan multinasional di hampir seantero dunia. Selain itu, penyebab-penyebab lainnya adalah semakin banyaknya industri yang bersifat footloose akibat kemajuan teknologi (yang mengurangi pemakaian sumber daya alam), semakin tingginya pendapatan dunia rata-rata per kapita, semakin majunya tingkat pendidikan mayarakat dunia, ilmu pengetahuan dan teknologi di semua bidang, dan semakin banyaknya jumlah penduduk dunia. Drajat globalisasi dari suatu negara di dalam perekonomian dunia dapat dilihat dari dua indikator utama. Salah satunya, rasio dari perdagangan internasional (ekspor dan impor) dari negara tersebut sebagai suatu persentase dari jumlah nilai atau volume perdagangan dunia, atau besarnya nilai perdagangan luar negeri dari negara itu sebagai suatu persentase dari PDB. Untuk menunjang hal ini tentunya memerlukan pengusahaan terhadap teknologi dimana teknologi sekarang sangat berperan. Peran dari teknologi terhadap proses globalisasi juga diakui oleh friedman, dia mengatakan “era globalisasi dibangun seputar jatuhnya biaya telekomunikasi – berkat adanya mikrochip, satelit, serat optik dan internet/ Teknologi informasi yang baru ini mampu merajut dunia bersama-sama bahkan menjadi lebih erat. ……. Teknologi ini juga dapat memungkinkan perusahaan untuk menempatkan lokasi bagian produksi di negara yang berbeda, bagian riset dan pemasaran di negara yang berbeda, tetapi dapat mengikat mereka bersama melalui komputer dan komperensi jarak jauh seakan mereka berada disatu tempat. Demikian juga berkat kombinasi antara komputer dan telekomunikasi yang murah, masyarakat sekarang dapat menawarkan pelayanan perdagangan secara global - dari konsultasi medis sampai penulisan data perangkat lunak ke proses data – pelayanan yang sesungguhnya tidak pernah dapat diperdagangkan sebelumnya. Dan mengapa tidak? Sambungan telepon untuk 3 menit pertama (dalam dolar, thn 1986) antara New York dan London biayanya adalah 300 dolar di tahun 1930. Sekarang hal itu hampir bebas biaya melalui Internet (20a”). Friedman selanjutnya mengatakan bahwa globalisasi memiliki definisi teknologi sendiri: komputerisasi, miniaturisasi, digitalisasi, komunikasi satelit, serat optik dan internet-nya.

Hal ini juga telah diperiksi oleh Toffler dan Nasbitt dimana mereka memiliki beberapa kesamaan dalam meramal dunia masa depan khususnya dibidan perdagangan, diantaranya adalah bahwa kemajuan teknoli dan ilmu pengetahuan merupakan motor pengerak utama proses globalisasi ekonomi. Perubahan radikal pada teknologi juga telah menciptakan perubahan pada politik, sosial dan budaya. Mereka juga sependapat bahwa masyarakat dunia dewasa ini sedang memasuki era masyarakat informasi yang beralih dari masyarakat industri. Artinya adalah bahwa masyarakat tidak bisa lagi menutup diri dari luar karena teknologi informasi mampu menembus batas-batas wilayah kekuatan negara Pengaruh radikal dari kemajuan teknologi terhadap kehidupan masyarakat saat ini terutama sangat ketara sekali pada kegiatan bisnis sehari-hari atau produk-produk yang dihasilkan. Kondisi inilah yang melanda Indonesia dimana mencoba mempertahankan industri dengan ketidaksiapan dalam penguasahaan dan pengmaksimalkan teknologi. Tantangan yang beratpun muncul baik dalam sisi internal maupun eksternal dari Negara Indonesia, tantangan itu antara lain :

1. Lemahnya sistem jaringan koleksi dan distribusi nasional yang kurang mendukung peningkatan daya saing ekspor. Dewasa ini jaringan koleksi dan distribusi barang dan jasa perdagangan dalam negeri banyak mengalami hambatan karena belum terintegrasinya sistem perdagangan di tiga tingkatan pasar (pengumpul, eceran, dan grosir) serta maraknya berbagai pungutan dan peraturan di tingkat daerah akibat penyelenggaraan otonomi. Masalah ini menyebabkan berkurangnya daya saing produk dalam negeri untuk dimanfaatkan sebagai bahan antara (intermediate goods) karena kalah bersaing dengan produk impor sejenis dan berkurangnya daya saing produk yang langsung di ekspor. Masalah ini juga menyebabkan berkurangnya atau bahkan terbatasnya pilihan pemasaran para produsen ke dalam jaringan pasar dalam negeri yang dampaknya lebih jauh adalah kelesuan untuk peningkatan volume produksinya. Perbaikan dalam sistem jaringan koleksi dan distribusi nasional, selain bermanfaat untuk peningkatan daya saing produk ekspor, juga akan meningkatkan ketahanan ekonomi karena mendorong integrasi komponen-komponen produksi dalam negeri yang terkait. Lebih jauh lagi, perbaikan sistem akan memiliki kehandalan di dalam mendorong perwujudan stabilitas harga serta bermanfaat untuk pengamatan dini (early warning system), misalnya terhadap kemungkinan serbuan produk-produk impor tertentu, gangguan terhadap pasokan dan distribusi barang.

2. Meningkatnya nilai tukar riil efektif Rupiah. Nilai tukar rupiah secara nominal memang mengalami depresiasi bila dibandingkan pada masa sebelum krisis (tahun 1997), namun nilai tukar efektif riilnya mengalami penguatan sebesar 80 persen dibandingkan pada masa sebelum krisis. Penguatan tersebut terutama terjadi pada tahun 2002 dimana terjadi penguatan sebesar 21 persen. Nilai tukar efektif riil dibentuk oleh dua komponen yaitu nilai tukar nominal dan rasio harga relatif antara harga domestik dengan harga di negara mitra dagang. Meningkatnya nilai tukar efektif riil rupiah membuat produk ekspor Indonesia menjadi lebih mahal (kurang kompetitif) dibandingkan dengan produk yang sama dari negara pesaing.

3. Penurunan Investasi. Faktor lain yang mempengaruhi penurunan ekspor non migas adalah terjadinya penurunan investasi pada masa sesudah krisis terutama sejak tahun 2000 baik dalam nilai maupun jumlah proyek. Daya saing dan iklim investasi di Indonesia tidak pernah menduduki posisi yang baik dalam peringkat dunia. Menurut laporan World Economic Forum, daya saing Indonesia menduduki peringkat ke 60 dari 90 negara, jauh dibawah posisi Malaysia (26), Thailand (31), RRC (46), namun masih diatas Philipina (64). Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh tidak stabilnya kondisi makro ekonomi, ketidakpastian kebijakan, serta KKN. Kestabilan kondisi makro ekonomi merupakan hal yang paling pokok dalam meningkatkan investasi.

4. Keterbatasan dan menurunnya kualitas infrastruktur. Masalah infrastruktur juga menjadi salah satu penyebab turunnya ekspor Indonesia. Keterbatasan dan rendahnya kualitas infrastruktur seperti jalan, pelabuhan laut, pelabuhan udara, listrik dan telepon merupakan faktor utama penyebab tingginya biaya ekspor. Rendahnya kualitas infrastruktur pelabuhan di Indonesia mengakibatkan sebagian pengapalan kontainer dari Indonesia dilakukan melalui Singapura dan Malaysia. Hal ini disebabkan tingkat efisiensi pelabuhan di Indonesia relatif rendah.

5. Belum memadainya perangkat hukum di sektor perdagangan. Infrastruktur non fisik berupa perangkat hukum sektor perdagangan belum sepenuhnya menunjang pengembangan sektor perdagangan seperti belum diterbitkannya Undang-Undang Perdagangan dan Undang-Undang Sistem Resi Gudang, serta peraturan perundang-undangan lain di sektor perdagangan, mengakibatkan masih terdapat tumpang tindihnya peraturan antara pusat–daerah dan antar sektor

6. Tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung oleh dunia usaha secara langsung menurunkan daya saing produk ekspor. Banyak faktor penyebab yang antara lain adalah : masih maraknya korupsi dan penyalahgunaan wewenang; belum terjaminnya keamanan berusaha; lemahnya penegakan hukum; tumpang tindihnya antara peraturan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hal lain yang mempengaruhi daya saing adalah rendahnya efisiensi kepabeanan dan kepelabuhan.

Olehnya, permasalahan yang mendasar tersebut di atas perlu diatasi secara komprehensif dengan berbagai instansi terkait dan tentunya pemakaian teknologi haruslah dioptimalkan. Untuk menjawab hal diatas kebijakan pun dilakukan oleh pemerintah indonesia, dengan dua versi yaitu :
a). Versi dalam negeri
1. Penyederhanaanp rosedur, peningkatanp elayanand an pemberian fasilitas penanaman
modal
2. Pengendailan dan pelaksanaan penanaman modal
3. Peningkatan promosi investasi di dalam negeri
4. Peningkatan promosi investasi terintegrasi di luar negeri
5. Pengembangan kawasan ekonomi khusus investasi( KEKI)
6. Penyelenggaraan dan pengembangan Indonesia Promotion Office (IPO)
7. Pembangunan, pengadaan, peningkatan sarana dan prasarana
8. Sinkronisasi dan harmonisasi peraturan-peraturan yang terkait dengan pengembangan
9. Penanaman Modal
10. Penyusunan komoditi unggulan
11. Perencanaan dan pengembangan penanaman modal
12. Peningkatan kapasitas kelembagaa investasi
13. Pembangunan dan pengembangana sarana distribusi
14. Pembinaan pasar dan distribusi
15. Pengembangan system Resi Gudang( SRG)
16. Pengembangan pasar lelang daerah
17. Pemberdayaan perrlindungan konnsumen

Hal diatas ditambah investasi disektor pendidikan, pemerintah menyediakan computer dimulai dari sekolah dasar(SD), ditunjang dengan internetnya, untuk menhasilkan SDM yang siap dari dini.
b). Versi dalam Negeri
1. Penyelenggaraan dan pengembangan Indonesia Promotion Office( IPO);
2. Pembentukan dan pengembangan National Single window,(NSW) dan ASEAN Single
Window (ASW)
3. Pemetaan dan analisis komoditas utama dan potensial
4. Pengembangan ekspor daerah
5. Pelaksanaan pengamatan pasar( Market Intelligence)
6. Pengembangan promosi dagang
7. Penyelenggaraan Indonesia rade Promotion Centerf lTPC)
8. Peningkatan kualitas dan desain produk ekspor dalam rangka Indonesia Desing
Product (IDP)
9. Promosi produk ekspor Indonesia
10. Pembinaan ekspor peningkatan daya saing,dan pengendalian impor
11. Peningkatan partisipasi aktif dalam perundingan diberbagai for a internasional
12. Penyelenggaraan Tim Nasional perundingan Perdagangan Internasional
13. Peningkatan koordinasi penanganan isu –isu perdaganga internasional

Dapat kita bayangkan kedepan penggunaan teknologi betapa besar perannya dalam perdagangan dan peningkatan ekonomi pada umumnya, dan dengan system antisipasi yang ideal diatas kiranya bangsa Indonesia harusnya mampu menjawan tantangan global markets.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian didalam makalah ini, penggunaan teknologi dalam proses perdagangan di Indonesia masih minim baik dalam promosi maupun sebagai sarana komunikasi yang sangat efisien hal ini sangat dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan akan kegunaan revolusi teknologi yang sangat menguntungkan bagi pelaku global market.
Untuk mengobati(istilah kedokteran) pemerintah telah banyak mengambil kebijakan akan hal ini dan menurut penulis langka yang diambil sudah cukup baik dan menjanjikan namun semuanya kembali pada semua pihak agar berperan aktif dan bukan jalur kiri.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Ahmad Ali, Tabir Hukum
Haula Adolf, Hukum Ekonomi Internasional,hal.107
Friedman, Globalisasi 2000
WWW.Geogle.com

OLEH :

AKBAR
B 111 06 291

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2008

Makalah Hukum Lingkungan Internasional



PENDAHULUAN

Perairan Indonesia kaya akan sumberdaya kelautan dan perikanan dan merupakan jalur transportasi internasional yang strategis. Selain itu, perairan Indonesia terletak di antara negara-negara produsen minyak di bagian barat dan negara-negara konsumen di bagian timur. Disisi lain Indonesia memiliki anjungan minyak lepas pantai ratusan jumlahnya. Oleh sebab itu beberapa wilayah perairan Indonesia rentan akan pencemaran minyak. Sebagaimana diketahui minyak sangat berbahaya bagi kehidupan di laut. Pencemaran minyak dapat menyebabkan kematian ikan, kerusakan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan beberapa bangunan pantai. Beberapa kasus telah merugikan milyaran rupiah bagi nelayan dan pembudidaya ikan, namun upaya tuntutan ganti kerugian seringkali menghadapi hambatan. Oleh sebab itu melalui makalah ini diuraikan bahaya dan proses pencemaran minyak di perairan, dampak negatif yang dapat ditimbulkan dan upaya tuntutan ganti kerugian yang dapat di lakukan Dalam kurun waktu 1975-2004, menurut data dari Jatam (2005) telah terjadi sekitar 32 kasus tumpahan minyak besar di perairan Indonesia, yang 10 diantaranya dilokasi Pertamina. Sementara itu, pencemaran minyak meningkat tajam di tahun 2004, menjadi 10 kejadian. Cemaran minyak di laut adalah pembunuh ampuh bagi kehidupan di laut.

Sebagai contoh Pada tanggal 21 agustus 2009 terjadi pencemaran minyak di Laut Timor (cride oil) akibat meledaknya ladang gas Montara,akibat meledaknya ladang gas Montara tumpahan minyak tersebut memasuki wilayah perairan Nusa Tenggara Timur (NTT) sejauh 51 mil atau sekitar 80 km tenggara pulau Rote.Dari ledakan ladang tersebut angka kebocoran minyak mentah,gas dan kondesat yang telah menyembur ke laut Timor setiap harinya. Tetapi, menurut laporan pemerhati lingkungan di Australia yang membuat penelitiaan terhadap pencemaran mengatakan tidak kurang dari 500.000 liter minyak mentah dimuntahkan setiap hari ke laut Timordari ladang Montara yang bocor. Sementara juru bicara kementrian energi Australia menyebutkan , sekitar 2.000 barel minyak,gas dan kondesat yang menyembur ke laut Timor.Masyarakat di pesisir selatan Pulau Timor,Rote dan Sabu telah merasakan dampak dari meledaknya ladang gas di Montara seperti para nelayan dan petani rumput laut
.

SUMBER PENCEMARAN MINYAK DI LAUT

Pencemaran minyak di laut berasal dari beberapa sumber, yaitu: (i) tumpahan minyak karena operasional rutin kapal dan kecelakaan kapal, (ii) pelimpasan minyak dari darat (down the drain), (iii) terbawa asap (up in smoke), (iv) eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai, (v) pipa transportasi minyak, (vi) tank cleaning, dan (vii) perembesan alami (natural seeps). Sumber terbesar terjadinya pencemaran minyak di laut adalah pelimpasan minyak dari darat (down the drain).

Dalam makalah ini hanya akan dibahas sumber-sumber pencemar minyak di Laut. Beberapa sumber bahan pencemar minyak di laut
yang disebabkan oleh kegiatan manusia adalah: (1) Kegiatan eksplorasi,
produksi, penampungan, dan bongkar muat minyak di pantai (onshore) dan
lepas pantai (offshore), (2) Kegiatan pengangkutan minyak melalui kapal, (3)
Penyaluran minyak melalui transportasi pipa, dan (4) Kegiatan lainnnya.
Adapun penyebab terjadinya tumpahan minyak di perairan adalah:
(1) Kebocoran, (2) Kecelakaan, (3) Sabotase, dan (4) Kesengajaan, misal
ballast water.

PROSES PENCEMARAN MINYAK DI LAUT
Dalam membahas pencemaran minyak di laut perlu diketahui beberapa aspek yang terkait dengan proses pencemaran minyak di laut yaitu tipe minyak, sifat minyak, nasib (fate) dan pelapukan minyak (wheathering), jalur pergerakan minyak (pathways), dan keterpaparan (exposure).

(1) Tipe Minyak
Minyak (petroleum) merupakan senyawa kimia yang terdiri dari campuran senyawa hidrokarbon dan unsur-unsur mikro (trace elements). Biasanya minyak digambarkan berdasarkan keadaan fisiknya, seperti berat jenis (densitas), titik lebur (pour point), dan komposisi kimiawi (perbandingan hidrokarbon, aspal, dan belerang). Walaupun sangat kompleks sifatnya, minyak dapat dibagi ke dalam empat kelompok utama, yaitu: alkana (alkanes), naphtana (napthenes), aromatik (aromatics), dan alkene (alkenes) dan terdapat juka kelompok lainnya.
Alkana (disebut juga normal paraffins): dicirikan dengan adanya rantai atom karbon (bercabang atau tidak bercabang) berikatan dengan atom hidrogen, dan merupakan rantai atom jenuh (tidak memiliki ikatan ganda). Termasuk dalam kelompok ini adalah methane, propane, dan isobutene.

Naphtana (napthenes, disebut juga cycloalkanes atau cycloparaffins): 50% dari minyak mentah biasanya merupakan naphtana. Kelompok ini mirip dengan alkana, akan tetapi dibedakan dari keberadaan cincin atom karbon tertutup yang masih sederhana. Naphthana biasanya bersifat stabil dan relative tidak larut dalam air. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain cyclopropane dan cyclopentane.
Aromatik (Aromatics): adalah kelas hidrokarbon dengan karakteristik cincin yang tersusun dari enam atom karbon. Aromatik ini merupakan komponen minyak mentah yang paling beracun, dan bisa memberi dampak kronik (menahun, berjangka lama) dan karsinogenik (menyebabkan kanker). Hampir kebanyakan aromatik bermassa rendah (low-weight aromatics), dapat larut dalam air sehingga meningkatkan kemungkinan kontak dengan sumberdaya hayati perairan. Contoh dalam kelompok ini adalah benzene, naphthalene, and benzo(a)pyrene.

Alkene (Alkenes, disebut juga olefins atau isoparaffins): memiliki karakteristik yang mirip dengan alkana, namun mempunyai ikatan ganda atom karbon. Alkene biasanya tidak ditemukan pada minyak mentah, namun lebih banyak terdapat pada produk-produk olahan (refinery), seperti minyak tanah (gasoline). Alkene yang umum ditemukan adalah ethene dan propene.

Komponen lain: selain empat komponen utama penyusuan minyak tersebut di atas, minyak juga dikarakterisasikan oleh adanya komponen-komponen lain seperti aspal (asphalt) dan resin. Komponen lain tersebut kadangkala terdapat dalam jumlah besar, sehingga membuat minyak menjadi sangat padat dan kental
(2) Sifat Minyak
Beberapa sifat minyak yang harus dipertimbangkan dalam penentuan tingkat kerusakan sumberdaya pesisir dan laut antara lain: (i) berat jenis (density), (ii) kekentalan (viscosity), (iii) titik lebur (pour point), (iv) kelarutan (solubility), (v) komposisi kimiawi (percent aromatics); dan (vi) potensi untuk menjadi emulsi. Setiap jenis minyak tentu saja memiliki sifat-sifat yang berlainan, sehingga karakteristik masing-masing jenis minyak dapat dibedakan dari satu jenis ke jenis lainnya, atau biasa disebut memiliki finger print yang berbeda.

(3) Nasib dan Pelapukan Minyak
Minyak yang tumpah ke suatu perairan mengalami sejumlah proses fisika, kimia, dan biologi yang berperan mengubah nasib (fate) dan karakteristik minyak. Secara kolektif, proses-proses tersebut dikenal sebagai pelapukan (weathering). Proses ini terjadi pada semua minyak yang tumpah ke laut, namun tingkat dan aspek penting setiap proses sangat bergantung pada jenis minyak dan kondisi perairan. Proses pelapukan tersebut akan mengubah komposisi, perilaku, keterpaparan, dan daya racun (toksisitas) minyak. Sebagai contoh, penetrasi minyak ke dalam kawasan lumpur bervegetasi (areal mangrove) dipengaruhi oleh kekentalan (viskositas) minyak. Minyak yang sudah mengalami pelapukan akan mempunyai tingkat penetrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan minyak yang belum mengalami pelapukan. Minyak yang sudah mengalami pelapukan akan mengandung komponen-komponen yang tidak larut dalam air, dan bergabung membentuk gumpalan-gumpalan (bola-bola) minyak (tarballs).
Gumpalan-gumpalan tersebut sudah barang tentu mengurangi potensi terjadinya kontak dengan biota air. Namun di sisi lain, burung dan mamalia laut lebih berpotensi untuk menghisap gumpalan-gumpalan minyak tersebut. Sementara itu, hilangnya komponen minyak dengan berat jenis kecil melalui penguapan dan atau pelarutan selama proses pelapukan menyebabkan minyak menjadi tenggelam dan meningkatkan kemungkinan pencemaran sedimen dan meningkatkan daya racun minyak di kolom air.

(4) Jalur Pergerakan Minyak
Untuk memastikan bahwa kerusakan sumberdaya perairan disebabkan pencemaran oleh minyak, maka harus dilakukan identifikasi jalur pergerakan minyak (pathways). Pemahaman tentang hal ini akan mempersempit dan memfokuskan investigasi kerusakan sumberdaya yang akan dilaksanakan, termasuk metodologi yang akan digunakan. Beberapa jalur utama pergerakan minyak sampai terjadinya keterpaparan minyak dengan sumberdaya pesisir dan laut, meliputi: permukaan air, ingesti (ingestion), inhalasi (inhalation), fisik (permukaan jaringan), atmosfer, sedimen, air tanah, dan kolom air.

(5) Keterpaparan Minyak
Terjadinya kontak atau terpaparnya (exposure) sumberdaya pesisir dan laut terhadap minyak dapat terjadi secara langsung dan tak langsung. Kemudian dalam menentukan apakah suatu sumberdaya pesisir dan laut telah mengalami kerusakan (injury) atau tidak, satu langkah penting yang perlu dilakukan adalah mendemonstrasikan adanya keterpaparan minyak dengan sumberdaya. Dengan demikian, penjelasan keterpaparan dalam keseluruhan pendugaan kerusakan (injury assessment) sumberdaya pesisir dan laut adalah menentukan. Dalam hal ini akan dapat diketahui adanya kontak sumberdaya dengan minyak, baik langsung maupun tidak langsung, memperkirakan jumlah atau konsentrasi minyak yang tumpah, dan memperkirakan luasan tumpahan minyak. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam menggambarkan keterpaparan minyak dengan sumberdaya pesisir dan laut yaitu: tipe minyak, volume tumpahan, dampak pembersihan, tipe pantai, ukuran butir sedimen, tinggi pasang surut, kondisi cuaca, perilaku serta kehidupan biota, jangka waktu kontak, dan pendekatan
untuk kajian kontak.

(6) Pendekatan Untuk Kajian Kontak (Exposure)
Kontak (exposure) biasanya dievaluasi dengan kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif. Pemilihan strategi penentuan kontak (exposure) tergantung pada tipe minyak, volume yang tumpah, risiko kerusakan sumberdaya, kondisi lingkungan, dan ketersedian sumberdaya manusia, dana, serta peralatan

DAMPAK NEGATIF PENCEMARAN MINYAK
a. Dampak Terhadap Sumberdaya Non-Hayati
Air Permukaan dan Air Bawah Tanah
Air permukaan dan air bawah tanah merupakan jenis sumberdaya non-hayati
yang paling terpengaruh oleh tumpahan minyak. Hampir semua minyak
mentah dan produk pemurniannya mempunyai daya larut dalam air yang
rendah, biasanya kurang dari 50 mg/L. Bagian yang paling mudah larut
adalah komponen yang paling mudah menguap.

Sedimen dan Tanah
Sedimen dan tanah seringkali terkontaminasi minyak yang tumpah, karena
adanya kontak langsung maupun tidak langsung. Upaya-upaya pembersihan
untuk kontaminasi sedimen seringkali kurang efektif, khususnya jika aktivitas
ini justru semakin memperparah kerusakan (kasus sedimen berlumpur).
Udara

Kontaminasi terhadap udara biasanya jarang dipertimbangkan selama
kejadian tumpahan minyak. Namun demikian saat ini mulai muncul perhatian
akan bahaya penguapan benzene karena mempunyai efek karsinogenik
kepada manusia. Keadaan ini semakin penting untuk diantisipasi apabila
kejadian tumpahan minyak berada dekat dengan lokasi penduduk yang padat.
Benda Purbakala

Benda purbakala, cagar alam dan harta karun di dasar laut yang terkena
minyak dapat rusak atau berkurang nilai estetikanya. Oleh sebab itu nilai
jualnya akan berkurang.

b. Dampak Terhadap Sumberdaya Hayati
Dampak Terhadap Biota
Semua biota dapat terkena dampak tumpahan minyak, namun dalam
makalah ini penjelasan lebih ditekankan pada kelompok mamalia laut, ikan,
plankton dan/atau jasad renik, reptilia, moluska, krustasea dan inveterbrata
lainnya.

- Mamalia
Mamalia laut bisa menderita karena pengaruh tumpahan minyak. Sekecil
apapun tumpahan tersebut dapat sangat mempengaruhi kehidupannya.
Beberapa pengaruh minyak terhadap mamalia laut adalah: (1) Minyak mudah
lengket pada bagian tubuh mamalia laut, (2) Mudah dimangsa jika minyak
melengketkan sirip tubuhnya, sehingga membuat mamalia laut sulit
menghindari predator, (3) Kehilangan berat badan jika mamalia laut tidak bisa
makan karena terjadi pencemaran yang disebabkan oleh minyak di
lingkungannya, dan (4) Peradangan atau infeksi dapat terjadi pada dugong
dan kesulitan makan karena minyak menempel pada bulu sensor yang
terletak disekitar mulut.

- Ikan
Dampak negatif minyak terhadap ikan dipengaruhi oleh tingkat sensitivitas
dan kerentanan dari masing-masing spesies, lama keterpaparan, dan suhu
lingkungan serta kondisi arus dan gelombang. Sensitivitas dan kerentanan
spesies terutama dipengaruhi oleh tingkat (stadia) kehidupan, habitat, perilaku
dan jenis makanan.

- Plankton dan Jasad Renik Lainnya
Setelah mengalami keterpaparan, minyak dapat berpengaruh pula terhadap
kelangsungan hidup plankton dan jasad renik lainnya yang ada di perairan.
Kita ketahui bersama bahwa dalam keseimbangan ekologi di ekosistem
perairan, peran plankton baik fitoplankton maupun zooplankton, serta jasad
renik lainnnya di perairan, adalah sangat penting.

- Moluska, Reptilia, Krustasea dan Invertebrata Lainnya
Dampak keterpaparan minyak terhadap moluska dipengaruhi oleh sensitivitas
dan kerentanan spesies, tingkat (stadia) biota, habitat, dan makanan.
Kebanyakan moluska mempunyai telur yang bersifat benthik (di dasar
perairan) dan nektonik (melayang di kolom air), sehingga mengurangi
kerawanan kontak dengan lapisan minyak di permukaan. Namun demikian,
stadia larva banyak ditemukan di perairan dangkal dekat permukaan,
sehingga rawan terpapar minyak.

- Burung
Minyak mempengaruhi kehidupan biota laut dengan cara melapisi tubuhnya
dengan lapisan tebal. Karena kebanyakan minyak mengapung di atas
permukaan air, hal ini dapat mempengaruhi biota laut dan burung laut. Minyak
yang lengket pada bulu burung, biasanya minyak mentah dan bahan bakar
kapal, dapat menyebabkan banyak masalah pada biota tersebut.
Dampak Terhadap Ekosistem

- Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan ekosistem dengan produktivitas sangat tinggi.
Dampak pencemaran minyak terhadap terumbu karang dapat bersifat
mematikan (lethal) atau sub-lethal, misalnya pengurangan kemampuan
reproduksi, perkembangan larva dan kolonisasi, laju pertumbuhan,
kemampuan fotosintesa, struktur sel dan kemampuan makan. Luasan dan
tingkat kerusakan terumbu karang akibat pencemaran minyak berkaitan erat
dengan kepekaan dan kerentanan dari masing-masing spesies, lama
keterpaparan, dan suhu lingkungan.

- Mangrove
Minyak dapat mempengaruhi kehidupan mangrove dan organisme lain yang
berasosiasi pada mangrove. Minyak dapat menutupi daun, menyumbat akar
nafas, mencegah difusi garam dan menghambat proses respirasi pada
mangrove.

- Padang Lamun, Rumput Laut, dan Vegetasi Bawah Air Lainnya
Vegetasi bawah air meliputi spesies yang mempunyai akar vaskuler yang
terendam di bawah permukaan air, sebagai contoh lilia air, rumput laut, dan
lamun. Vegetasi bawah air sangat sensitif terhadap kontaminasi minyak,
karena vegetasi bawah air mimiliki produktivitas yang tinggi, berperan dalam
siklus nutrien, berfungsi sebagai kawasan asuhan, mencari makan, dan
berlindung berbagai spesies penting dan komersial tinggi dari jenis-jenis ikan.

- Kawasan Perikanan
Tumpahan minyak dapat mempengaruhi daerah penangkapan ikan dan
lingkungannya, yang meliputi:
(i) Daerah Perikanan Sensitif (Sensitive Areas),
Adalah area tertentu yang merupakan wilayah perikanan penting yang
mempunyai nilai sensitifitas tinggi dari gangguan lingkungan, seperti
daerah ruaya ikan, daerah pemijahan, daerah asuhan, daerah mencari
makan, daerah pembesaran, dan daerah perlindungan ikan (suaka
perikanan),
(ii) Daerah Penangkapan Ikan (Fishing Ground)
Merupakan wilayah perikanan tertentu yang ditetapkan sebagai daerah
penangkapan ikan karena sumberdaya ikannya potensial.
(iii) Daerah jalur-jalur penangkapan ikan, dan Wilayah Pengelolaan Perikanan.

c. Dampak Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat
Perikanan Budidaya
Dari aspek sosial ekonomi untuk perikanan budidaya, hal-hal yang perlu
mendapatkan perhatian apabila terjadi pencemaran minyak adalah a)
kawasan budidaya laut, b) kawasan budidaya tambak, c) pembenihan
(hatchery) biota budidaya laut, dan d) tambak garam.
Hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan dokumen untuk klaim ganti
kerugian kawasan budidaya mencakup: a) luas dan lamanya kawasan
budidaya tersebut beroperasi/musim tanam yang terkena dampak, b) jenis,
jumlah, berat biota budidaya, c) perkiraaan produksi (kapasitas dan harapan
produksi) komoditi yang dapat dipanen, d) kompensasi tenaga kerja, dan e)
biaya pembersihan sarana dan prasarana budidaya.

Pembenihan (Hatchery) Biota Budidaya Laut dan Air Payau
Kegiatan ini akan terkena dampak langsung jika perairan laut tercemar,
karena air laut yang bersih merupakan kebutuhan mutlak bagi operasional
hatchery. Sehingga apabila terjadi pencemaran akibat tumpahan minyak,
maka semua aset hatchery yang terkena dampak dapat diajukan untuk
memperoleh klaim ganti kerugian, yang meliputi: a) jaring, b) filter air, c)
induk, d) benih, e) makanan alami, f) kompensasi tenaga kerja, dan g) biaya
pembersihan sarana dan prasarana. Disamping itu juga termasuk perkiraan
produksi, yang meliputi kapasitas produksi dan harapan produksi setiap siklus
hidup, yang dihitung selama dampak tersebut terjadi, yang kemungkinan lebih
dari 1 (satu) kali siklus hidup.

Tambak Garam.
Hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan dokumen untuk klaim ganti
kerugian kawasan tambak garam mencakup: a) luas tambak yang terkena
dampak, b) jumlah garam yang rusak, c) sarana dan parasarana tambak
garam yang rusak, d) kompensasi tenaga kerja, dan e) biaya pembersihan
sarana dan prasarana.

Perikanan Tangkap.
Dalam kaitan dengan penyusunan dokumen untuk klaim ganti kerugian aspek
sosial ekonomi dari perikanan tangkap, maka beberapa hal yang perlu
dipersiapkan mencakup: a) kerugian nelayan karena tidak dapat melaut, b)
kerusakan perahu dan alat tangkap, misalnya: jaring, bagan tancap, bagan
apung, rumpon dasar dan apung, alat tangkap statis lainnya, c) biaya
pembersihan alat tangkap, dan d) penurunan hasil tangkap.

Pariwisata.
Tumpahan minyak dapat mencemari kawasan pariwisata pantai dan bahari.
Dalam kaitan dengan klaim ganti kerugian, maka perhitungan dapat dilakukan
dengan mengkalkulasi kerugian yang disebabkan oleh: a) penurunan jumlah
pengunjung, b) kerusakan sarana dan prasarana pariwisata, c) kehilangan
kesempatan bekerja, d) penurunan estetika lingkungan, dan e) luasan
kawasan yang tercemar.

PENUTUP

Demikian makalah ini disusun untuk menjadi bahan presentasi tentang tugas mengenai pencemaran linkungan laut terutama akibat “tumpahan minyak”untuk kita ketahui bersama bahwa bahaya akibat tumpahan minyak di Laut dapat menggangu ekosistem bawah laut selain itu dapat merugikan para nelayan dan petani rumput laut.Untuk itu diperlukan kesadaran kita semua untu memelihara lingkungan di laut agar keberlangsungan atas common heritage ini tetap terjaga.Dan semoga membawa manfaat bagi kehidupan mausia di masa-masa yang akan datang terutama di wilayah perairan Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2005. Catatan Sektor Pertambangan Hingga Tahun 2004.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Jakarta.
..................., 1969. International Convention on Civil Liability for Oil Pollution
Damage 1969. IMO. Sweden.
...................., 1992. Amandmen of International Convention on Civil Liability
for Oil Pollution Damage 1969. IMO. Sweden.
..................., 1997. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta.
...................., 2001. Undang-Undang Republik Indonesia No 22 tahun 2001
Tentang Minyak dan Gas Bumi. Jakarta.
....................... 2004. Draft Pedoman Umum Pedoman Umum Penyiapan dan

Makalah Hukum Terorisme Internasional



BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang Masalah

Terorisme internasional yang mulai dibentuk dan bergerak pada tahun 1974 kini sudah berkembang menjadi 27 (dupuluh tujuh) organisasi yang tersebar di beberapa negara seperti di negara-negara Timur Tengah, Asia dan Eropa. Terorisme internasional yang berkembang di negara-negara timur tengah pada prinsipnya bertujuan untuk menyingkirkan Amerika Serikat dan pengikutnya darinegara-negara Arab. Pada umumnya kehadiran terorisme internasional dilator belakangi oleh tujuan-tujuan yang bersifat etnis, politis, agama, dan ras. Tidak ada satupun dari organisasi terorisme intenasional tersebut yang dilatar belakangi oleh tujuan mencapai keuntungan materiel.

Dengan latar belakang tujuan tersebut maka tidaklah heran jika organisasi terorisme internasional tersebut memiliki karakteristik yang sangat terorganisasi,tangguh, ekstrim,ekslusif, tertutup, memiliki komitmen yang sangat tinggi, dan memiliki pasukan khusus serta di dukung oleh keuangan dan dana yang sangat besar. Organisasi terorisme internasional tidak bertujuan atau bercita-cita membentuk suatu negara baru/pemerintahan baru melainkan bagaimana menciptakan keadaan khaos dan tidak terkontrol suatu pemerintahan yang menjadi sasarannya sehingga pemerintahan itu tunduk dan menyerah terhadap idealismenya. Berbagai cara pemaksaan kehendak dan tuntutan yang sering dilakukannya seperti penyanderaan, pembajakan udara, pemboman, perusakan instalasi strategis dan fasilitas publik, pembunuhan kepala negara atau tokoh politik atau keluarganya, dan pemerasan. Bagi organisasi terorisme internasional tersebut tujuan menghalalkan segala cara sekalipun harus menimbulkan korban penduduk sipil yang tidak berdosa. Peristiwa pemboman, pembajakan udara disertai dengan tuntutan dan jatuhnya korban-korban terorisme internasional sudah sering terjadi dan terakhir peristiwa sebelas september 2001 di Amerika Serikat yangpada tahun 1993 gedung WTC di New York tersebut pernah dijadikan objek pembomanoleh organisasi terorisme internasional.

I.II Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang dikemukakan diatas, maka konsentrasi penulis agar makalah ini lebih kepada :

1.Apakah pemberlakuan Undang-undang No.15 tahun 2003 tentang Terorisme merupakan sebuah kebutuhan dari bangsa Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

Pemerintah Indonesia perlu menyikapi masalah terorisme internasional ini apalagi sejak terjadinya pemboman dibeberapa wilayah Ibukota sejak tahun 1999 yang lalu dan dibeberapa kota besar lainnya. Tidak ada klaim dari organisasi terorisme internasional atau organisasi terorisme domestik atas kejadian-kejadian di Indonesia. Namun demikian jelas bahwa kejadian-kejadian di Indonesia tersebut merupakan sinyal bahwa Indonesia telah merupakan salah satu target operasi organisasi terorisme baik internasional maupun domestik. Meningkatkan kewaspadaan secara fisik semata-mata tidaklah cukup untuk menghadapi organisasi terorisme internasional karena secara organisatoris kelompok tersebut sudah memiliki perencanaan dan persiapan yang sangat diperhitungkan baik segi operasional, personil, maupun dukungan infrastruktur dan pendanaan termasuk dukungan para ahli hukum dan akuntan yang disewanya yang memiliki reputasi internasional. Disamping itu organisasi terorisme internasional juga merupakan nasabah perbankan nasional dibeberapa negara.

Melihat kerapihan organisasi terorisme internasional tersebut maka sangatlah naif jika sikap pemerintah menyamakan organisasi terorisme internasional ini dengan menghadapi para penjahat perorangan, kelompok artau terorganisasi yang semata-mata mencari keuntungan materiel. Namun seyogyanya kita menyikapinya dengan sangat hati-hati, terencana baik, terkoordinasi dan didukung oleh sarana peraturan perundang-undangan yang kuat dan tangguh serta dukungan dana yang memadai. Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan atau sekedar tambal sulam maka jangan diharapkan pemerintah Indonesia dapat menjaga dengan optimal kedaulatan wilayah negaranya dan melindungi warga negara dari sasaran organsisasi terorisme tersebut.

Pemerintah Indonesia sejak tahun 1999 telah menyusun naskah Rancangan Undang-undang tentang Pemberantasan Terorisme(draft ke I)dengan pertimbangan bahwa,Pemerintah RI sudah memiliki UU Narkotika dan UU Psikotropika dan bersamaan dengan UU tersebut sedang disusun juga Rancangan Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Ketiga subjek tersebut berkaitan satu sama lain yaitu hasil perdagangan ilegal narkotika dan psikotropika internasional sering digunakan untuk pembelian senjata untuk keperluan organisasi terorisme internasional seperti di Afganistan termasuk pusat candu diASIA dikenal dengan bulan sabit emas dan di daerah segitiga emas dikawasan ASEAN. Keterkaitan antara penjualan narkotika ilegal dan pembelian senjata untuk organisasi terorisme internasional ini digolongkan ke dalam kegiatan yang disebut narco-terorism. Selain itu, terhadap hasil penjualan candu dan narkotika lainnya juga dilakukan pencucian uang dan ditanam dalam kegiatan bisnis legal atau disimpan dibank. Ketiga subjek kegiatan yang bersifat internasional tersebut satu sama lain saling berhubungan dan berkepentingan sehingga sangatlah sulit jika dihadapi secara satu persatu sehingga diperlukan suatu pendekatan yang bersifat komprehensif.

Pendekatan yang bersifat komprehensif ini memerlukan juga perubahan mendasar tentang paradigma yang sudah lama dianut dalam politik hukum pidana yang berlaku dalam sistem hokum pidana diIndonesia. Perubahan paradigma dalam politiik hukum pidana ini sangat mendesak karena ketiga subjek diatas saling memupuk kekuatan dengan solidaritas yang tinggi sehingga jika tidak diwaspadai akan merupakan virus perusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara baik dari sisi keajegan dan kelanjutan kehidupan suatu pemerintahan maupun dari sisi kesejahteraan bangsa. Perubahan paradigma politik hukum pidana memerlukan pengkajian secara serius karena berkaitan dengan pertanyaan apakah kita tetap akan mempertahankan"due process of law" secara mutlak dan tidak terbatas atau mengenyampingkannya atau membatasi sedemikian rupa sehingga perlindungan hak asasi rakyat luas yang sangat potensial menjadi korban ketiga virus perusak tersebut terutama organisasi terorisme internasional, akan lebih dikedepankan/diutamakan dari pada perlindungan hak asasi tersangka in casu terorisme internasional?,

Tim Penyusun Rancangan Undang-undang Pemberantasan Terorisme pada waktu itu memilih alternatif kedua dengan dasar pertimbangan sebagaimana telah diuraikan di atas. Pertimbangan lain yang perlu disampaikan ialah bahwa dengan berkaca kepada pengalaman pemerintah Inggris dan akhir-akhir ini pemerintah AS. Pemerintah Inggris di bawah kecaman pendukung HAM tetap mencabut "hak untuk tidak menjawab"(the right to remain silent) dari tersangka terorisme selama menjalani pemeriksaan pendahuluan (diatur dalam UU Hukum Acara Pidana, 1976). Kemudian baru-baru ini ternyata Pemerintah AS demi perlindungan atas warga negaranya dan aset-aset di seluruh dunia telah memberlakukan kebijakan yang merampas Hak Asasi tersangka pelaku terorisme asing seperti: hak untuk diadili oleh Grand Jury; pemeriksaan tertutup; laporan intelijen diakui sebagai alatbukti; pembicaraan antara penasehat hukum dan tersangka disadap; tersangka diancam dengan pidana mati. Selain itu, seluruh keuangan tersangka teroris dan organisasi teroris yang disimpan di perbankan di AS dibekukan dan disita tanpa mempertimbangkan lagi undang-undang tentang kerahasiaan bank. Kebijakan kedua pemerintah tersebut yang dikenal sebagai pendukung dan pelopor HAM ternyata tidak dipersoalkan masyarakat internasional atau objek penyelidikan komisi HakAsasi Manusia PBB. Sedangkan secara nyata bahwa kebijakan politik hukum pidana tersebut penuh dengan pelanggaran atas konvensi internasional tentang HAM bahkan bertentangan pula dengan Konsitusi negara-negara tersebut.
Tim Penyusun draft ke I Rancangan UU Pemberantasan Terorisme telah mengambil sikap yang paling ekstrim dari kedua negara tersebut dengan pertimbangan bahwa, pertama, negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang jauh lebih sulit kendali dan pengawasannya apalagi infrastruktur yang dimiliki belum secanggih di kedua negara tersebut. Kedua, Undang-undang Dasar 1945 disusun terutama untuk menciptakan kesejaheraanbangsa Indonesia dan sekaligus melindunginya sehingga tidak ada hak-hak konstitusional untuk melindungi warga negara asing yang melakukan kegiatan terorisme di Indonesia apalagi di tengah keadaan krisis multi dimensi yang sedang melanda Indonesia terutama di bidang penegakan hukum. Kegiatan terorisme internasional di Indonesia jelas memperparah keadaan yang sudah buruk tersebut. Ketiga, KUHAP yang berlaku terlalu menitikberatkan kepadaperlindungan HAK-HAK Tersangka dan kurang memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan apalagi untuk Korban pelaku terorisme sehingga akan terjadi ketidakseimbangan yang signifikan antara hak tersangka pelaku teroris disatu sisi dan hak korban rakyat yang tidak berdosa disisi lain. Selain itu KUHAP tidak mengakui sarana telekomunikasi dan sarana teknologi canggih lainnya sebagai alat bukti sedangkan kegiatan terorisme tidak dapat dideteksi tanpa mempergunakan sarana-sarana tersebut. Keempat, KUHPidana sebagai hukum materiel sangat lemah dan kurang berfungsi sebagai deteren dan refresip terhadap pelaku terorisme internasional karena ancaman hukuman minimal satu hari dan praktik peradilan pidana terbukti telah menimbulkan kekecewaan masyarakat luas terutama dalam kasus-kasus yang menyentuh dan merugikan kepentingan rakyat seperti korupsi apalagi untuk kasus terorisme dengan korban yang konkrit dan kontan saat itu juga di mana peristiwa teror terjadi .

Untuk melaksanakan fungsi koordinasi dan tertata secara baik dalam menghadapi terorisme internasional diperlukan suatu badan nasional anti terorisme dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden RI yang diatur dalam RUU ini, sehingga jelas tugas dan wewenangnya dan pembatasannya dalam menghadapi kegiatan terorisme dan para pelakunya.

Kegiatan terorisme internasional sudah terbukti sangat merugikan kepentingan bangsa dan negara dimana korban mati atau luka berat sangat banyak dan kerusakan bangunan dan fasilitas publik tidak dapat dihindarkan sehingga sulit untuk tidak memberikan beban pertanggungjawaban yang sangat berat terhadap para pelaku terorisme internasional tersebut. Kelima, kegiatan terrorisme internasional telah diatur dalam beberapa konvensi internasional menentang terorisme internasional dan pemerintah Indonesia termasuk negara penandatangan konvensi internasional tentang pemberantasan pendanaan untuk terorisme(1999) dan terikat kepada Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 tahun 2001 yang menegaskan kewajiban seluruh negara anggota PBB termasuk Indonesia untuk antara lain melakukan pembekuan tanpa ditunda-tunda seluruh aset dan keuangan dan yang memfasilitasi kegiatan terorisme.

Di dalam Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pendanaan Terorisme(1999) dan Kovensi Internasional tentang Pemberantasan Pemboman oleh Teroris(1997) telah dibedakan antara terorisme internasional dan terorisme domestik di mana ketentuan Pasal 3 dari kedua konvensi tersebut menegaskan bahwa ketentuan dalam konvensi tidak berlaku terhadap kegiatan seseorang yang terjadi disatu negara dan dilakukan oleh warga negara yang bersangkutan kecuali terlibat yurisdiksi negara lain didalamnya. Pada tahun 2003 akhirnya Indonesia meratifikasi konvensi internasional mengenai terorisme yang di tuangkan dalam UU No.15/2003 tentang Terorisme.

BAB III
PENUTUP
III.I KESIMPULAN

Bertitik tolak dari perkembangan instrrumen internasional tersebut maka pemerintah RI seyogyanya memang meratifikasi konvensi internasional tersebut dan mengingat kejadian terror didalam wilayah Indonesia yang tidak bisa ditutupi eksistensi dari organisasi internasional. Kejadian yang paling memukul bangsa Indonesia dan dunia internasional adalah bom bunuh diri dibali yang menewaskan warga Indonesia, Amerika Serikat dan Australia oleh anggota organisasi terorisme internasional.

Dari banyaknya kejadian- kejadian terror diwilayah Negara kesatuan republik Indonesia sudah semestinya Indonesia meratifikasih konvensi internasional tentang terorisme, sehingga pemerintah sudah memiliki satu undang-undang yang dapat melindungi kedaulatan wilayahnya dan warga negaranya.

DAFTAR PUSTAKA
www.google.com
UU.No.15 tahun 2003 tentang terorisme
www.youtube.com

Pengikut