Sabtu, 15 Januari 2011

Makalah Hukum Perjanjian Internasional "ReserVation"



BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang Masalah

Perkembangan sumber hukum internasional sampai pada akhir tahun 2008 sangat signifikan, hal ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun perkembangan sumber hukum internasional ini tetap menempatkan perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral sebagai sumber utama hukum internasional.
Penjanjian(treaty) baik bilateral maupun multilateral merupakan suatu bentuk kodifikasi hukum kebiasaan kedalam hukum positif internasional. Proses kodifikasi biasanya dilakukan dalam konvensi- konvensi internasional. Didalam konvensi biasanya dilakukan perumusan, perundingan, singkatnya sampai pelaksanaan isi perjanjian, baik dengan cara ratifikasi atau aksesi bagi negara yang mau terikat hak dan kewajibannya terhadap perjanjian. Seyogyanya isi perjanjian dilaksanakan secara penuh agar tercapai kesempurnaan perjanjian itu sendiri, namun hal ini tentunya sulit dicapai ketika melibatkan kepentingan setiap negara yang ikut dalam konvensi. Kepentingan negara- negara yang berbeda inilah yang biasanya membuat alok pada saat perumusan dan perundingan suatu substansi perjanjian. Keadaan dilema bagi negara peserta konvensi dipertaruhkan ketika isi perjanjian itu pada umumnya atau lebih banyak yang sesuai dengan kebutuhan(menguntungkan) negaranya, tetapi ada beberapa bagian dari perjanjian yang memang tidak dibutuhkan(tidak menguntugkan) bagi negara tersebut ataupun bertentangan dengan konstitusi negaranya. Untuk menghindarkan negara mundur atau tidak meratifikasi dan atau mengaksesi perjanjian maka suatu perjanjian dibuatkan suatu pengecualian dalam bentuk RESERVATION atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama persyaratan.
Persyaratan(reservation) berlaku juga bagi negara ketiga yang ingin ikut serta dalam perjanjian tetapi tidak ikut dalam konvensi. Persyaratan disini memberikan angin segar bagi negara yang ingin terikat dalam perjanjian tapi tidak secara penuh menerima semua ketentuan dalam perjanjian.

I.II Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah, rumusan masalah untuk makalah ini adalah:
1. Seberapa besar pengaruh kedaulatan negara dalam menekan untuk lahirnya sebuah Persyaratan, dan apakah instrumen dari persyaratan(reservation)?
2. Apakah perbedaan reservation sistem suara bulat dengan sistem pan Amerika,
Dan kasus reservation atas Konvensi Genocide tahun 1951(tentang pencegahan dan penghukuman atas kejahatan genocide)?


BAB II
PEMBAHASAN

II.I Pengertian

Awalnya reservation (persyaratan) didefinisikan berbeda-beda berdasarkan subyek yang memberikan defenisi. Adapun defenisi bebes terhadap reservation yang secara umum itu ialah pernyataan sepihak yang dikemukakan oleh suatu negara pada waktu menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, yang isinya menyatakan “Menolak untuk menerima atau mengakui atau tidak mau terikat pada, atau tidak mau menerima akibat hukum dari salah satu atau beberapa ketentuan dari perjanjian tersebut, dan atau mengubah atau menyesuaikan isi atau memberikan arti tersendiri atas salah satu atau beberapa ketentuan dari perjanjian tersebut sesuai dengan kepentingan negara yang bersangkutan”, perbedaan pendapat ini dimungkinkan kalau belum ada defenisi yang disepakati bersama.

Namun dengan lahirnya konvensi wina 1969 sebagai instrumen hukum perjanjian internasional, pengertian persyaratan telah diterimah secara umum berdasarkan defenisi yang terdapat pada pasal 2 ayat 1 butir d “Persyaratan berarti suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan nama apapun yang dibuat oleh suatu negara, ketika menandatangani, meratifikasi, mengapksesi, menyetujui, atau mengaksesi atas suatu perjanjian internasional, yang maksudnya untuk mengesampingkan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian itu dalam penerapannya terhadap negara yang bersangkutan”. Dengan demikian substansi pasal 2 (1),d konvensi wina antara lain adalah merupakan pernyataan sepihak, berkenaan dengan waktu pengajuan persyaratan, dan berkenaan dengan substansi, maksud, dan tujuan dari persyaratan itu sendiri, serta pengajuan persyaratan itu harus dalam bentuk tertulis.

Dengan adanya pengertian yang diberikan terhadap reservation dalam konvensi wina berarti pengertian bebas tadi dengan sendirinya ditinggalkan karena sifatnya yang relatif demi terpenuhinya persamaan presfektif terhadap reservation.

II.II Pengaruh Kedaulatan Negara dalam Menekan Untuk Lahirnya Sebuah
Persyaratan, dan Instrumen Dari Persyaratan(reservation)
Resevation seperti telah diuraikan diatas didasarkan pada pasal 2 ayat 1 bagian d konvensi wina 1969 tentang perjanjian. Perjanjian merupakan manifestasi dari keinginan negara- negara atas sebuah aturan internasional yang penerapannya tidak bertentangan dengan konstitusinya dan tentunya tidak mencederai kedaulatan masing- masing negara. Kedaulatan merupakan salah satu unsur pembentuk negara sehingga aturan hukum internasional diusahakan serelevan mungkin dengan aturan hukum umum pada setiap negara didunia. Kedaulatan menurut kamus hukum internasional dan indonesia oleh Drs. Soesilo Prajogo, SH, yang diterbitkan Wacana Intelektual berarti “Kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah; kedaulatan suatu negara”, dengan mengacu pada defenisi diatas maka suatu problem akan muncul ketika negara- negara ikut dalam suatu konvensi internasional, dimana disetiap negara pasti mempunyai perbedaan konstitusi.

Kesadaran bahwa dalam sistem dan struktur masyarakat internasional, negara-negara sebagai subyek utama hukum internasional memiliki kedaulatan, dan dengan dasar kedaulatan itu maka negara tidak bisa dipaksa untuk menerima atau menyatujui sesuatu yang tidak sesuai dengan kepentingannya. Dalam hubungannya dengan suatu perjanjian internasional, atas dasar kedaulatan itu maka suatu negara berhak penuh untuk menentukan apakah akan menyatakan setuju terikat ataukah menolak terikat pada suatu perjanjian internasional. Problematisnya adalah ketika didalam perejanjian itu ada beberapa ketentuan yang merugikan dan ada juga yang menguntungkan bagi negara, pilihannya adalah menyatujui untuk terikat atau tidak sama sekali.
Pilihan manapun yang ditempuh akan menimbulkan masalah lanjutan baik bagi negara itu maupun bagi perjanjian itu sendiri, bahkan dalam ruang lingkup yang lebih luas akan menimbulkan dampak tehadap masyarakat internasional pada umumnya, lebih- lebih jika perjanjian itu merupakan perjanjian internasional multilateral global. Masalah yang timbul bagi negara adalah jika tidak mau terikat pada perjanjian padahal sebagian besar dari ketentuan perjanjian itu menguntungkan baginya, sebaliknya jika memaksakan terikat pada perjanjian padahal ada beberapa ketentuan yang merugikan bagi negaranya, hal ini menempatkan negara pada pilihan yang sulit.
Selanjutnya bagi perjanjian itu sendiri, hal ini akan menghambat bagi perkembangan hukum internasional dimana sumber hukum internasional adalah perjanjian internasional bila makin sedikit negara yang menyatakan setuju untuk terikat pada perjanjian tersebut. Hal ini juga akan menghambat konsep ideal dari perjanjian itu pada tatanan pelaksanaannya yang riil.

Bagi masyrakat internasional secara umum, terhambatnya suatu perjanjian internasional berkembang menjadi kaidah hukum positif berarti akan menghambat lahirnya sarana untuk mengatur kehidupan masyarakat internasional. Dengan dua pilihan diatas tentunya akan sulit dipenuhi oleh negara- negara yang ikut dalam perjanjian untuk terikat karena sifatnya yang terlalu ekstrim.
Untuk mengakomodasi kepentingan tiap- tiap negara tanpa mengesampingkan kedaulatan disatu sisi yang bersebrangan dengan ketentuan dalam perjanjian, kemudian diperkenalkan pranata hukum internasional yang disebut reservation(persyaratan) untuk menjembantangi kedaulatan negara- negara dalam keterikatannya pada perjanjian internasional dengan perjanjian itu sendiri. Hal ini membuat terang bahwa persyaratan(reservation) lahir dari sebuah jurang antara kedaulatan dan ketentuan pada suatu perjanjian.

Mengenai persyaratan instrumen positifnya diatur dalam konvensi wina 1969 pada pasal 2 ayat 1 d “defenisi dari persyaratan”, dan diatur pula dalam lima pasal yaitu pasal 19 “ mengenai ketentuan pengajuan suatu persyatan sampai pembatasannya pada perjanjian internasional”, pasal 20” mengenai diterimah atau ditolaknya persyaratan yang diajukan suatu negara oleh negara peserta lainnya”, pasal 21” diatur mengenai akibat hukum dari persyaratan”, pasal 22” diatur mengenai penarikan kembali suatu persyaratan atau sebuah penolakan”, pasal 23”pada pasal ini diatur mengenai prosedur persyaratan secara menyeluruh”. Dengan adanya aturan yang jelas mengenai persyaratan akan memudahkan bagi negara peserta konvensi atau negara ketiga apabila ingin ikut terikat pada perjanjian dengan mengecualikan beberapa ketentuan yang diperbolehkan oleh perjanjian itu sendiri.
Secara umum perjanjian internasional yang didalamnya diikuti oleh negara sebagai peserta berkiblat(atau instrumen hukumnya) pada ketentuan konvensi wina 1969 tentang perjanjian. Ketentuan dalam konvensi wina tegasnya terdapat 8(delapan) bagian yang terdiri dari 85 pasal, yang diharapkan dapat mengakomodasi ketentuan hukum internasional bagi suatu perjanjian.

II.III Perbedaan Reservation Sistem Suara Bulat dengan Sistem Pan Amerika,
Dan kasus reservation atas Konvensi Genocide tahun 1951(tentang
pencegahan dan penghukuman atas kejahatan genocide)
Pada masa awal lahirnya persyaratan sampai tahun 2008 ini dikenal dua macam sistem persyaratan. Dua sistem persyaratan itu adalah sistem persyaratan suara bulat dan sistem persyaratan pan Amerika. Sistem persyaratan suara bulat yaitu suatu mekanisme pengajuan persyaratan oleh suatu negara yang ingin terikat pada suatu perjanjian yang didasarkan atas persetujuan semua negara anggota perjanjian, dengan kata lain apabila ada negara anggota yang menentang persyaratan yang diajukan oleh negara yang ingin mengikatkan dirinya pada perjanjian tidak akan diterima sebagai anggota. Pada sistem ini semua negara anggota harus menyetujui persyaratan yang diajukan oleh negara yang ingin menjadi anggota agar persyaratan itu memiliki kekuatan mengikat dan berlaku positif, kalau tidak berarti negara yang ingin menjadi anggota tadi harus menerima secara keseluruhan ketentuan dalam perjanjian tersebut atau tidak menjadi anggota.

Sistem suara bulat ini, seperti mashab kontrak dalam hukum perdata yang mana lebih mengutamakan keutuhan dari substansi kontrak agar tidak mencederai maksud dan tujuan perjanjian tersebut. Perkembangan yang signifikan atas sistem suara bulat ini terjadi pada masa sebelum perang dunia I dan II, yaitu pada masa itu Liga Bangsa- Bangsa yang paling banyak menggunakan mekanisme ini, dan mengenai sistem suara bulat ini diatur dalam pasal 20 ayat 2 konvensi wina 1969.
Selanjutnya sistem yang kedua yaitu sistem pan Amerika, sistem ini dinamakan sistem pan Amerika dikarenakan sistem ini diperkenalkan dan diterapkan pertama kali dibenua Amerika, pada organisasi regional pada tahun 1932 dengan nama Organisation of American States. Mekanisme pada sistem ini tidak terlalu rumit menurut penulis untuk penerapannya dan membuka kesempatan perkembangan yang cepat bagi hukum perjanjian internasional itu sendiri.

Singkatnya pada sistem pan Amerika apabila negara yang ingin terikat pada perjanjian mengajukan persyaratan pada ketentuan perjanjian dan persyaratan ini mendapat tanggapan pro dan kontra dari negara anggota maka perjanjian ini tetap berlaku secara umum dan persyaratan hanya berlaku bagi negara yang pro terhadap persyaratan yang diajukan dan yang kontra tidak berlaku perjanjian tersebut dan akibat hukum bagi negara yang mengajukan persyaratan dan yang kontra pada persyaratan tidak berlaku baginya perjanjian tersebut. Mengenai sistem pan Amerika ini diatur dalam konvensi wina 1969 pada pasal 20 ayat 4, 5, pasal 21 ayat 1, 2, 3, dan pasal 22 ayat 1, 2, 3, serta pasal 23 ayat 1, 2, dan 3.
Dari uraian kedua sistem persyaratan diatas jelaslah perbedaannya, yang dari terminologi bahasanya sudah bisa menggambarkan perbedaan mendasarnya. Disini juga tampak dengan sangat jelas dari ketentuan yang mengaturnya dimana reservation pan Amerika lebih banyak mendapatkan tempat pengaturan didalam konvensi wina 1969 dari pada sistem suara bulat, hal ini tidak lepas dari dinamika sistem pan amerika yang lebih barpariasi dibandingkan sistem suara bulat.

Untuk lebih memahami reservation(persyaratan) berkenaang dengan tempatnya sebagai pranata hukum internasional penulis menyajikan sebuah kasus yang mengetengahkan antara tataran teori ke pengimplementasian persyaratan itu sendiri, sebagai berikut;

Ceis
Reservation atas Konvensi Genocide, 1951.
Pihak-Pihak yang Terlibat:
1. PBB Sebagai organisasi internasional yang menyelenggarakan konvensi
Genocide 1951 ini.
2. Negara- negara anggota PBB, yang pada tahun 1948 menyepakati secara bulat konvensi tentang Genocide dengan jumlah negara anggota PBB adalah 56 Negara, dan negara ketiga yang ingin ikut terikat yang karena konvensi yang sifatnya universal dan konvensi memberikan kemungkinan itu.
3. Mahkamah Internasional Pemberi Advisory Opinion yang diwakilkan 12(dua belas) hakim mahkamah internasional.
Duduk Perkara

Pada tanggal 9 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengesahkan sebuah konvensi yaitu Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide(Konvensi tentang pencegahan dan penghukuman atas kejahatan genocide) berdasarkan Resolusi nomor 206/III/48, dan berlaku pada tanggal 12 Januari 1951, yang menjadi masalah ternyata didalam konvensi tidak diatur mengenai Reservation(persyaratan), jadi tidak ada kejelasan apakah negara yang mau terikat pada konvensi Genocide ini diperkenangkan untuk mengajukan persyaratan atauka tidak sama sekali.
Didalam prosesnya konvensi itu untuk mengikat negara-negara, ternyata ada beberapa negara yang mengajukan persyaratan saat menyatakan persetujuannya untuk terikat dalam konvensi Genocide 1951 ini.

Penyelesaian Masalah:
Karena didalam konvensi Genocide tidak ada aturan yang secara splisit mengatur mengenai Reservation. Padahal hal ini merupakan persoalan hukum internasional yang sangat besar mengingat konvensi ini diakomodasi oleh Organisasi internasional, maka Majelis Umum PBB pada saat itu mengeluarkan Reselusi nomor 478/ V/ 1950, yang memohon Advisory Opinion(pendapat hukum) ke Mahkamah Internasional, dengan mengetengahkan masalah yang dihadapi oleh konvensi Genocide 1951, sebagai berikut;
Sepanjang berkaitan dengan konvensi tentang Genocide, dalam hal suatu negara yang menyatakan persetujuannya untuk terikat pada konvensi;
a. Dapatkah negara yang mengajukan persyaratan dipandang sebagai pihak atau peserta pada konvensi dengan tetap mempertahankan persyaratan yang diajukanya itu, jika persyaratan itu ditolak oleh satu atau lebih negara peserta, tetapi tidak ditolak atau disetujui oleh negara-negara peserta lainnya.

b. Jika jawaban atas pertanyaan a adalah positif (affirmative), bagaimanakah akibat hukum dari persyaratan tersebut dalam hubungan antara negara yang mengajukan persyaratan dan:
- Negrara-negara peserta yang menolak persyaratan itu?
- Negara-negara peserta yang menerima atau menyetujuinya?
c. Apakah akibat hukumnya berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan a, apabila keberatan atau penolakan terhadap persyaratan itu diajukan oleh:
- Negara yang menandatangani konvensi tetapi yang belum menyatakan persetujuannya untuk terikat atau belum meratifikasinya?
- Negara yang berhak untuk menandatanganinya maupun mengaksesinya tetapi ternyata tidak atau belum melakukannya?
Dalam menjawab pertanyaan ini, Mahkamah Internasional menyatakan;
Senua pertanyaan tersebut secara tegas dibatasi oleh Resolusi Majelis Umum PPB yakni hanya berkaitan dengan konvensi tentang gonecide, oleh karena itu, jawaban yang akan diberikan oleh Mahkamah pun juga secara tegas dibatasi hanya pada konvensi saja.Mahkamah akan mencari jawabannya didalam kaidah- kaidah atau peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan akibat hukum dai reservation maupun penerimaan dan penolakan terhadap reservation dalam perjanjian-perjanjian multilateral”.
Selanjutnya mahkamah mengatakan bahwa suatu perjanjian internasional tidak mengikat bagi negara yang tidak menyetujui untuk terikat begitupun sebaliknya. Mahkamah dalam hal menyampaikan pendapatnya memperhatikan faktor internal dan eksternal dari konvensi Genocide ini. Faktor internalnya antara lain meliputi mekanisme persetujuan perjanjian yang memakai sistem suara bulat diperberat, maksudnya suara bulat diperberat adalah pada saat kesepakatan diambil diadakan voting yang mana lebih banyak yang setuju(suara mayoritas) dengan mekanisme suara bulat untuk perjanjian Genocide ini, dengan kata lain sudah ada pihak(negara) yang berseblahan(yang minoritas pada saat pemungutan suara) dengan suara bulat ini, dan juga maksud dan tujuan dari konvensi Genocide ialah sebagai konvensi yang parmanen dan universal. Parmanen dan universal secara luas diartikan bahwa konvensi merupakan manifestasi dari penerimaan secara murni atas tujuan kemanusian dan peradaban umat manusia. Jadi dalam konvensi persamaan kepentingan adalah mutlak dengan berpegang pada prinsip-prinsip moralitas, tanpa memperhitungkan keuntungan dan kerugian atau hanya berdasarkan keseimbangan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya secara kontraktual saja sebagaimana dimaksud dan tujuan dari perjanjian.
Faktor eksternalnya ialah perlunya diperhatikan kondisi untuk penerapan konvensi Genocide yang bermuarah ke sifat yang lebih luwes untuk keutuhan konvensi, ditambah pihak PBB sebagai pihak yang mengakomodasi pelaksanaan konvensi bersifat sangat universal dan aturan negara-negara yang bisa menjadi peserta berdasarkan ketentuan dalam konvensi(pasal XI konvensi). Faktor selanjutnya adalah paham yang kental pada saat itu, dimana paham ini menengahkan bahwa maksud dan tujuan perjanjian tidak bisa digagalkan oleh suatu keputusan sepihak atau persetujuan khusus antara beberapa pihak dalam perjanjian, paham ini didasarkan pada prinsip kedaulatan tiap-tiap negara (paham ini berkembang dan menjadi landasan pembuatan kontrak”yaitu kontrak haruslah utuh dan bulat”).
Itulah kedua faktor yang mempengaruhi konvensi Genocide, kemudian mahkamah berpendapat bahwa maksud dan tujuan konvensi adalah untuk membatasi, baik membatasi kebebasan untuk mengajukan persyaratan atau penolakan terhadap persyaratan seperti maksud dan tujuan dari PBB dan Negara-negara yang menyatujui perjanjian agar makin banyak negara yang berpartisipasi dalam perjanjian. Jadi pengajuan persyaratan atau penolakan terhadap persyaratan harus dianggap sebagai tindakan penyempurnaan dari perjanjian sepanjang itu relevan dengan maksud dan tujuan perjanjian.
Mengenai laporan yang berkenaan dengan masalah ini, yang diterimah oleh dewan LBB pada tanggal 17 Juli 1927, yang menyatakan bahwa sering terjadi persetujuan secara diam-diam yang memiliki peranan tersendiri atas reservation dalam suatu perjanjian, namun hal ini tidak menegaskan adanya peraturan. Lalu melihat kebiasaan dalam penolakan terhadap persyaratan itu sangat sering tidak terjadi dalam perjanjian yang konsekuensinya tidak ada alasan untuk membuatkan aturan hukum internasional semacan ini. Presfektip yang palig baik dianut adalah bahwa rekomendasi yang dibuat untuk Dewan LBB pada tanggal tersebut merupakan titik tolak dari suatu praktik administratif yang diterapkan dan ditaati dikalangan sekretariat LBB.
Akhirnya Mahkamah Internasional dengan perbandingan suara tujuh orang hakim menyetujui sedangkan lima orang hakim menolak, memberikan Advisory opinionnya atas permohonan yang diajukan oleh PBB, dan menyatakan;
- Bahwa jika ada suatu negara yang mengajukan persyaratan yang ternyata ditolak oleh satu atau lebih negara peserta dalam konvensi tetapi disetujui atau tidak ditolak oleh negara peserta yang lainnya, negara yang mengajukan persyaratan itu dapat dipandang menjadi peserta pada konvensi, apabilah persyaratan itu sesuai dengan atau tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari konvensi, tetapi sebaliknya jika persyaratan itu bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi, maka negara tersebut tidak dapat dipandang peserta pada konvensi.
- Bahwa jika salah satu negara peserta menolak persyaratan yang diajukan oleh suatu negara yang dipandangnya bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi, negara itu dalam kenyataannya dapat menganggap bahwa negara yang mengajukan persyaratan tersebut bukan sebagai pihak atau peserta pada konvensi.
- Bahwa jika lain pihak , suatu negara peserta ada yang menerima atau menyetujui persyaratan tersebut karena menganggapnya sesuai dengan maksud dan tujuan konmvensi, maka negara yang menyetujui itu dalam kenyataannya dapat memandang negara yang mengajukan persyaratan sebagainpihak atau peserta pada konvensi.
- Bahwa keberatan atau penolakan terhadap suatu persyaratan yang dikemukakan oleh negara penandatangan yang belum meratifikasi atau belum menyatakan persetujuannya untuk terikat pada konvensi akan meulai menimbulkan akibat hukum dalam hubungannya dengan jawaban pertama diatas, hanya sesudah negarab itu menyatakan persetujuannya untuk terikat atau sesudah negara itu meratifikasinya.
- Bahwa keberatan atau penolakan terhadap suatu persyaratan yang diajukan oleh suatu negara yang berhak untuk menandatangani atau mengaksesinya tetapi ternyata negara itu tidak atau belum melakukan pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian itu, keberatan atau penolakan tersebut tidak memilki akibat hukum apapun.
Dengan merujuk pada Advisory opinion Mahkamah Internasional yang pertimbangannya meliputi faktor internal dan eksternal yang telah dijelaskan sebelumnya ditambah perbedaan Presfektif(pandangan) dari negara-negara terhadap reservation, maka PBB dalam kasus Genocide 1951 menerapkan Advisory opinion Mahkamah internasional untuk menyelesaikan masalah persyaratan ini.


BAB III
PENUTUP
III. I Kesimpulan

Reservation(persyaratan) merupakan pranata hukum internasional yang sangat relevan dengan kebutuhan negara –negara akan aturan hukum internasional yang mana sumbernya dari perjanjian internasional. Reservation juga memberikan kepastian akan bisanya dikecualikan beberapa ketentuan yang bertentangan dengan keinginnan negara –negara akan aturan internasional selama itu tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian itu sendiri. Dengan adanya persyaratan, kedaulatan tiap-tiap negara juga terakomodasi dalam perjanjian.

Mengenai sistem suara bulat bagi reservation menurut hemat penulis merupakan sebuah kegagalan awal dari perjanjian dan persyaratan itu sendiri, dikarenakan dalam hal ini bisa saja negara menolak untuk meratifikasi disebabkan bertentangan dengan kedaulatannya dimana perluh diingat bahwa persyaratan merupakan implikasi dari sebuah kedaulatan. Dengan adanya sistem pan Amerika yang kembali menurut hemat penulis merupakan mekanisme yang tepat bagi reservation karena cukup luwes dan akomodasi untuk kedaulatan negara-negara yang ingin mengikatkan dirinya pada suatu konvensi.

Pada kasus Genocide, Advisory opinion Mahkamah Internasional sudah Preskriftip(apa yang seyogyanya), dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah dijelaskan sebelumnya, di tambah penulis memberikan Apreasi bagi Mahkamah internasional yang sangat mapan mempergunakan Prespektif hukum murni dalam kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA
“ I Wayan Parthiana, SH. MH
Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1,Bandung, Januari 2002
“ Drs. Soesilo Prajogo, SH
Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, Cetakan 1, tahun 2007
“ Haula Adolf
Hukum Perdagangan Internasional, Bandung, November 2004
“ Konvensi Wina 1969 Tentang Penjanjian Internasional.
Foto Copy Naskah Transletnya ke Bahasa Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut